BAB I
PENDAHULAN
1.1 Latar Belakang
Setelah
mempelajari bab sebelumnya, anda sebenarnya sedikit banyak telah mendapat
gambaran menenai komtal. Secara singkat sering dikatan bahwa komtal merupakan
suatu pendekatan yang menganjurkan pemakaian media oral dan isyarat yang di
gabung dalam mendidik anak tunarungu. Anjuran ini merupakan akibat dari
perubahan pandangan yang terjadi pada kebanyakan pendidik tunarungu yaitu
mereka menjadi lebih terbuka daripada waktu sebelumnya karena makin peduli
terhadap rendahnya mutu pendidikan anak tunarungu sebagaimana terungkap dari
berbagai hasil penelitian (L. Evans, 1982)
Melalui
penerapan komtal diharapkan pesan komunikasi menjadi lebih lengkap atau total
sehingga mutu pendidikan pun meningkat. Namun sebelum anda dapat menerapkan
pendekatan tersebut anda perlu ketahui bagaimana pandangan berbagai ahli
mengenai komtal ini, kemudian manfaat serta efektivitas penerapannya sampai
saat ini. Secara garis besar perlu pula diberikan gambaran bagaimana ketiga
gambaran yaitu oral, pendengaran (aural), dan isyarat (manual) berperan dalam
komunikasi total.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
Pengertian Komunikasi Total ?
2. Bagaimana
Munculnya Komunikasi Total dan apa Faktor Pendorongnya ?
3. Apa
Manfaat Komunikasi Total ?
4. Apasaja
Komponen Komunikasi Total ?
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui Pengertian Komunikasi Total.
2. Untuk
mengetahui Munculnya Komunikasi Total dan apa Faktor Pendorongnya.
3. Untuk
mengetahui Manfaat Komunikasi Total.
4. Untuk
mengetahui Komponen Komunikasi Total.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Komunikasi Total
L.
Evans (1982) dengan mengutip Garretson (1976) mencatat bahwa tokoh yang
pertamakali menggunakan istilah komtal adalah Roy Holcomb. Tokoh ini
menggunakan istilah terssebut untuk menggambarkan keluwesan dalam cara
berkomunikasi sebagaimana diterapkan di suatu sekolah di daerah California,
Amerika Serikat. Istilah ini kemudian di populerkan oleh D. Denton (1968) yang
menggambarkan komtal sebagai berikut :
Keseluruhan spectrum cara berbahasa
yang lengkap, gesti anak, bahasa isyarat, baca ujaran, ejaan jari, membaca dan
menulis. Pengembangan sisa pendengaran guna memajukan ketrampilan bicara dan
baca ujaran.
Tokoh lain yaitu Vernon (1972) yang
memberi penekanan pada peran isyarat dan ejaan jari guna menunjang keterbatasan
baca ujaran dan memberi batasan sebagai berikut :
Komtal merupakan suatu cara yang
konstruktif dalam menghadapi keterbatasan kemampuan baca ujaran. Anak tuli di
didik dan di beri kesempatan untuk berkomunikasi dengan suatu sistem yang tidak
meragukan bagi mereka sebagaimana bahasa lisan untuk anak dengar.
Batasan Brill yang di kemukakan
dalam suatu seminar internasional di London tahun 1975, menekankan pada
berbagai media komunikasi yang di gunakan yaitu :
Komtal meliputi penggunaan salah
satu dan semua modus atau cara komunikasi yaitu penggunaan sistem bahasa
isyarat, ejaan jari, bicara, baca ujaran, amplifikasi (pengerasan), gesti,
pantomimic, menggambar, dan menulis. Dalam pengungkapan diri dapat digunakan
misalnya bicara, salah satu bentuk komunikasi manual, dan amplifikasi secara
serempak. Untuk menangkap pesan dapat di terima melalui hanya salah satu atau
dua / lebih cara secara serempak.
L. Evans juga mengutip suatu batasan
yang menggugah keterlibatan dan kepedulian masyarakat yang berpendengaran
normal, seperti di kemukakan oleh Merill (1937) yang menggambarkan komtal
sebagai konsep yang :
Melibatkan segala cara komunikasi
dengan dan oleh kaum tunarungu. Dari pihak orang yang berpendengaran normal
dituntut untuk menggunakan bicara, isyarat, ejaan jari dan tata bahasa
(inggris) yang benar. Dari pihak kaum tunarungu juga di tuntut demikian,
ditambah upaya sepenuhnya untuk memfungsikan sisa pendengaran.
Berbagai ahli memandang komtal
sebagai suatu falsafah dan bukan suatu metode seperti tercermin dari tiga batasan
berikut :
Komtal adalah suatu falsafah yang
mencangkup cara komunikasi aural, manual, dan oral sehingga terjadi komunikasi
yang efektif dengan dan diantara kaum tunarungu.
(Hasil
Konperensi SLB-B di Amerika Derikat,1976 di kutip L. Dickers, 1975)
Komunikasi
total menggambarkan suatu falsafah komunikasi bukan metode pengajaran atau
bentuk komunikasi melainkan dapat di umpamakan sebagai suatu tujuan pendidikan.
Tujuannya adalah untuk mengungkap bahasa yang digunakan masyarakat dalam
berbagai cara (meliputi bicara, baca ujaran, isyarat, ejaan jari, membaca, dan
menulis) sehingga memungkinkan komunikasi yang lebih lengkap. Upaya ini di
dasarkan pada asumsi bahwa bila cara – cara tersebut di gunakan maka pemahaman
anak tunarungu akan menjadi lebih baik. (M. Hyde, dalam Buku Hasil Penlok
FNKTRI 1983, 1994). Komtal bukan merupakan suatu metode melainkan suatu
falsafah untuk mendekati setiap situasi komunikasi. (Cokely, 1979 dalam buku L.
Evans, 1982)
Batasan ini dianut lembaga
pendidikan terkenal bernama Gallaudet di Washington DC, Amerika Serikat yang
menyelenggarakan pendidikan dari tingkat pra – sekolah sampai perguruan tinggi
dengan komunikasi total. Falasafah komtal di lembaga pendidikan ini di dasarkan
atas kenyataan bahwa akan terjadi hambatan bagi perorangan maupun situasi
tertentu bila hanya di gunakan suatu media komunikasi. Dengan demikian pilihan
terhadap media tertentu atau kombinasi dari media – media itu seyogyanya
didasarkan atas 3 kriteria berikut :
1. Tujuan,
hambatan, dan tuntutan situasi yang ada.
2. Kemampuan
komunikasi anak, baik secara reseptif maupun eksprensif
3. Ketrampilan
dan ketakmampuan lawan bicara yang terlibat dalam situasi tersebut
Penggunaan komponen komunikasi di sekolah tersebut baik
secara terpisah maupun dalam kombinasi adalah :
·
Bahasa Isyarat Amerika (ASL)
·
Seni
·
Baca ujaran
·
Gesti
·
Membaca
·
Media
·
Menulis
·
Drama
·
Pantomin
·
Pendengaran
·
Bahasa Inggris dalam kode Isyarat
(Manual Coded English)
·
Bicara maupun Cued Speech
Secara
singkat falsafah komtal di sekolah tersebut bertitik tolak dari si anak dan
bukan metode berdasarkan pengakuan bahwa tidak semua media komunikasi sama
efektif untuk semua anak dalam berbagai situasi. Komtal yidak berpegangan pada
suatu media atau kombinasi media tertentu melainkan memberi keleluasaan untuk
memilih media atau kombinasi media yang paling efektif bagi anak perseorangan.
Dengan
menghimpun pendapat berbagai ahli ini secara garis besar dapat disimpulakn
bahwa hakekat komtal adalah :
1. Pengakuan
atas hak kaum tunarungu untuk mendapat komtal sepenuhnya dengan sesama manusia
sehingga memperoleh pemahaman yang lebih lengkap tentang dunia.
2. Penggunaan
berbagai cara komunikasi aural, oral, dan manual yang dapat di pilih sesuai
kebutuhan serta kemampuan perseorangan
3. Suatu
falsafah komunikasi dan bukan metode pengajaran.
2.2 Munculnya Komunikasi Total Dan
Faktor Pendorong
Selama
tiga puluh tahun belakangan ini,terutama diamerika serikat, terutama di eropa
dan negara lain tampak kecerendungan untuk menerapkan komunikasi total
(komtal). Faktor apa saja yang mendorong perkrmbangan komtal ini di berbagai
negara? Atau apa rasional pengembanganya?
Pada bagian awal bab ini anda telah
dapat mengikuti perkembangan berbagai metode komunikasi yang telah diterapkan
para pendidik di kedua benua tersebut. Secara, garis besar dapat dibedakan
antara penganut metode oral dan metode isyarat yang masing2 dengan gigih
mempertahankan pendirian mereka. Adanya upuya modifikasi dari beberapa tokoh
dengan unculnya metode kombinasi atau serempak sebenarnya tetap takm erubah
falsafah yang dianut masing-masing walaupun ada beberapa penelitian yang
menunjukkan keunggulan satu metode diatas metode lain, namun kenyataan sampai
itu belum satupun yang berhasil mengurangi ketinggalan rata-rata anak tunarungu
sebanyak 3-5 tahun dalam bidang prestasi akademik.(L.Dicker,1970). Selanjutnya
tokoh ini mengemukakan kekeliruan para pendidik adalah bahwa mereka terlalu
berminat dan gandrung terhadap suatu metode tertentu tanpa memikirkan kebutuhan
anak yang di didik. Menurut pandanganya, suatu metode dapat dinilai baik atau
buruk tergantung dari sasarannya. Misalnya metode braille itu baik,namun pasti
tidak dianjurkan untuk kaum tunarungu. Maka sudah tiba masanya untuk
mengembangkan suatu falsafah tentang komunikasi yang didasarkan atas teori
belajar. Berikut diuraikan mengenai landasan komtal dipandang dari segi
falsafah komunkasi dalam pendidikan anak tunarungu sebagaimana berkembang di
amerika serikat.
2.2.1
Landasan Filosofis Komunikasi Total
L.Dicker
mengemukakan beberapa teori prinsip belajar yang melandasi komtal yaitu:
a. proses belajar, lazimnya berlangsung
dari hal umum menuju hal yang khsusus. Komtal memberi kesempatan kepada anak
untuk mengadakan komunikasimelalui berbagai media dan bukan membatasi dengan
satu media saja.
b. Setiap individu memiliki kecepatan
belajar yang berbeda maka dalam suatu kegitan belajar mengajar kebutuhan
individu perlu mendapat perhatian seperti dalam komtal.
c. agar proses belajar berjalan lancar,
anak perlu memperoleh keberhasilan dalam berbuat sesuatu atau mendapat ganjaran
positif(reinforcemen) komtal memberi kesempatan untuk terselenggaranya kegiatan
belajar yang sesuai kebutuhan individu dan diperolehnya ganjaran positif
melalui terjalinnya komunikasi yang berarti.
Dengan mengingat teori belajar diatas,
maka bukan metode yang peru diunggulkan melainkan perhatian harus dipusatkan
pada anak didik. Penerapan suatu metode tertentu, sepenuhnya tergntung dari
kebutuhan anak didik. Komtal ditinju dari segi istilah sudah menunjukkan bahwa
tidak mengunggulkan salah satu cara cara komunikasi seperti metode-metode
sebelumnya. Komunikasi total berarti suatu totalitas atau kelemkapan dalam
berkomunikasi,tanpa batasan. Mak komtal sesungguhnya bukan merupakan suatu
metode melaikan suatu falsafah tentang komunikasi atuau “it involves philosophy rather than a method” (L.Evans,
1982 dengan mengutip Garretson, 1976) dan berbagi lainnya hanya merupakan suatu
sarana guna mencapai sasaran yaitu komunikasi dalam arti hakiki yaitu untuk
mengerti dan di mengerti(L.Dicker,1971). Sejalan dengan pendapat diatas
Garretson mengemukakan bahwa kebanyakan
ahli sependapat bahwa komtal:
Mengakui hak asasi anak tunarungu yaitu guna memperoleh masuakan maksimal
sehingga dapat mencapai pemahaman optimal dan pengertian total dalam suatu
komunikasi. It recognizes moral right of the hearing impaired....to maxsimum
input in order to attain optimal comprehension and total understanding intha
communication situation (1982:14)
Di tambahkan pula bahwa komtal sebagai
suatu pendekatan filosofis “philoshopical approach” membutuhkan suatu suasana
yang luwes (fleksibel) bagi seorang tunarungu bebas dari kebingungan , terka
menerka dan ketegangan. Diantara berbagai cara komunikasi yang terdapat dalam
komtal, tidak ada satupun yang perlu diunggulkan, setiap cara atau modalitas
patut diakui sebagai suatu sarana atau alat interaksi manusiawi yang dapat
diterima atau “ each modality receives status as an acceptable instrument for
human interchange” ( :15)
Sebagai
rangkuman dari uraian diatas dapat dikemukakan pandangan dari L.Dicker yang
dapat digunakan sebagai pertimbangan agar komtal dapat diterima sebagai
suatu falsafah dalam pendidikan anak
tunarungu yaitu:
o
Komtal karena mencakup semua metode
memiliki peluang yang lebih besar untuk dapat mengejar ketinggalan anak dalam
bidang akademis yang belum dicapai oleh metode-metode sebelumnya.
o
Komtal sangat memperhatikan perbedaan
antar individu dan hal tersebut sudah sesuai dengan prinsip teori belajar.
o
Walaupun komunikasi oral merupakan suatu
yang sangat didambakan,banyak anak tunarungu sebenarnya yang tidak ingi
dibatasi dalam cara komunikasi mereka hanya karena para pendidik memiliki
prasangka tertentu. Sudah tiba saatnya untuk memandang permasalhan metode dari
sudut kepentingan si anak itu sendiri.
2.2.2
Landasan Konseptual Komunikasi Total
Pada
permulaan bab ini telah diuraikan mengenani perbedaan antara bahasa dan
komunikasi. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa orang bisa
berkomunikasi tanpa bahasa yaitu antar lain dengan ekspresi muka gesti dan sebagainya.
Namun akan menjadi lebih efektif bila dalam komunikasi antar dua orang
digunakan suatu bahasa atau sama-sama menguasai dan menggunakan kode atau
aturan suatu bahasa. (Greg Leigh dalam
Laporan Hasil Penataran-Lokakarya FNKTRI, 1995)
Bahasa
mengandalkan dalam beberapa cara komunikasi, lazimnya secara lisan dan tulisan,
Baik dalam berbahasa lisan maupun tulisan, kode atau lambang dan aturan bahasa
yang digunakan tetap sama. Suatu pesan seperti “Saya Mau Makan” akan
menggunakan lambang dan aturan bahasa yang sama walaupun cara komunikasi itu
lisan atau tulisan. Pada anak tunarungu, kita langsung berfikir pada
ketakmampuannya untuk berkomunikasi secara lisan. Padahal bicara hanya
merupakan salah satu cara komunikasi, maka masalah utama bagi anak tunarungu
adalah sebenarnya bukan ketakmampuannya untuk bicara melainkan akibat hal
tersebut terhadap perkembangan yaitu
kemampuan berbahasanya ketakmampuan untuk memahami lambang dan aturan
bahasa (Greg Leigh dalam sumber yang sama)
Bila
demikian halnya, bagaimana proses penguasaan bahasa itu bisa terjadi pada anak
secara umum? atau apa kondisi dan
persyaratanya? Berbagai teori telah dikemukakan untukmenerangkan terjadinya
proses penguasaan bahasa pada anak. Greg Leigh mengemukakan suatu pandangan
yang secara umum dianut masa kini yaitu bahwa proses penguasaan bahasa pada
anak terjadi karena ada 2 kondisi yaitu:
Pertama
anak perlu memperoleh akses terhadap bahsa dalam jumlah yang besar atau harus
“mandi” bahsa. Berdasarkan penelitian ternyata kata yang paling sering didengar
anak yaitu kata “mama” biasanya kata pertama yang di dengar atau di
produksi,diucapkan oleh anak.
Kedua,anak
perlu memperoleh kesempatan untuk berinteraksi secara aktif dalam bahsa
tersebut dengan lingkunganya.
Kita
semua mengenal cerita tentang “Mowgli” Si Anak Serigala” yaitu anak yang
sebenarnya normal dibesarkan di hutan belantara
oleh serigala dan setelah diketemukan dan kembali di dunia beradap
ternyata tidak berbahasa dan tidak berbicara karena tidak memperoleh akses
terhadap bahsa manusia dan juga tidak mempunyai bahsa untuk berinteraksi dengan
manusia dalma bahsa tersebut. Namun pada bayi secra umum dalam kondisi normal,
bahasa akan berkembang, karena memiliki cara komunikasi melalui pendengaran dan
bicara atau secara aural dan oral.
Bagaimana dengan
anak tunarungu? mereka tidak memilikicara komunikasi yang bisa diandalkan,
sehingga tidak memperoleh akses terhadap bahsa dan dan juga tidak mempunyai
kesempatan interaksi secara aktif. Untuk kelompok anak tunarungu tertentu,
pemakaian alat bantu dengar (ABM) dapat membantu mereka memperolah akses bahasa
ditunjang latihan bicara sehingga bisa mengandakan interaksi dan menguasai
bahasa. Namun bagi kelompok untuk
tunarungu lain, walaupun sudah memakai ABM akses bahasa yang tersedia masih
terlalu sedikit sehingga keterampilan wicara juga kurang berkembang. Maka dasar
pemikiran komtal adalah untuk memberi akses bukan hanya secara aural atau oral
melainkan juga secara visual yaitu dengan isyarat (Greg Leigh, Leigh dalam Laporan Hasil Penataran-Lokakarya FNKTRI,
1995). Melalui cara komunikasi ini diharapkan agar anak mampu berbahasa secara
baik dan benar, lambang dan aturan bahasa yang ingin dikembangkan tetap sama,
hanya kesempatan untuk akses bahasa lebih lengkap. Sasaran tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
Wicara
Cara
komunikasi Tulisan
menggunakan lambang dan aturan bahsa yang sama.
Isyarat
Dalam
bab bab berikut akan menjadi lebih jelas bagaiman komtal menjadi suatu falsafah
menghasilkan suatu konsep yang kemudian diterapkan guna mengembangkan bahasa
dan dalam kegiatan belajar mengajar.
2.2.3
Landasan Sosial Dan Psikologi
Dalam kongres internasional tentang
pendidikan kaum tunarungu di hamburg (1980) banyak ahli mempertanyakan
kebijakan hasil kongresdi milan kurang lebih 100 tahun yang lalu yang
memprioritaskan metode oral dalam pendidikan anak tunarungu. Penekanan terhadap
kemampuan bicara memang perlu agar anak tunarungu dapat berinteraksi dalam
masyarakat orang dengar,tetapi justru dari kelompok mereka yang telah terintregasi
inilah sekarang mempertanyakan kemutlakan dari penerapan metode oral (let
v.bekkum dkk)1081 mengutip fuechte,1980)penanganan pada anak tunarungu
sebaiknya bertitik tolak pada situasi nyata atau dunia si tunarungu itu sendiri
dan bukan dari sudut orang yang mendengar. Manusia tuli akan selalu hidup dalam
2 dunia yaitu dunia orang dengar dan dunia orang tuli. Dengan demikian mereka
harus berperan ganda dan kita (orang yang mendengar)seyogyanya membantu mereka
agar kedua segi kehidupanya dapat berkembang. Disatu pihak, orang mendengar
harus membuka dunianya seluas mungki
bagi tunarungu agar mereka dapat menguasai kemampuan bahsa dan bicara, tetapi
dipihak lain merekapun mau tak mau harus biarkan hidup dalam dunianya sendiri.
Artinya dengan satu dunia dengan cara komunikasi sendiri.
Orang
yamg tidak cacat seyogyanya menerima kenyataan bahwa kaum cacat seumumnya tidak
pernah akan menjadi normal seratus persen. Berapa persen diantara kaum
tunarungu yang akan sampai pada suatu keterampilan bicara sehingga dapat
menyembunyikan kecacatan/ bagi kebanyakan diantara mereka hal tersebut tidak
akan terjadi sehingga akhirnya terpaksa memilih antara suatu hidup terus
menerus berupaya dengan sia-sia agar dapat menjadi orang normal atau belajar hidup sebaik mungkindengan
menerima cacat yang ada. Arti menerima dalam
hal ini bukanlah suatu sikap penerimaan yang pasif,pasrah pada nasib tetapi hidup kreatif dimana ketulian hanya
merupakan salah satu aspek dari keberadaannya sebagai manusia. Dengan demikian
ia tak akan merasakan diri sebagai manusia yang kurang tetapi berbeda dari amnusia lain, yaitu sebagai
manusia yang memiliki penghayatan dunia yang memang berbeda dengan segala
akibat yang menyenangkan maupun yang kurang menyenangkan. Sebagai akibat mereka tak akan merasa malu
karena cacat , tetapi akan berusaha memberi isi dan arti terhadap kehidupan(Let
v. Bekkum dkk.dengan mengutip krohnert,1980). Dengan bertambahnya mayoritas
(orang dengan pendengaran normal)untuk menghargai kekhasan minoritas (kaum
tunarungu) dalam masyarakat, komtal
dapat diterima dan berkembang.
2.2.4
Landasan Empiris Komunikasi Total
Salah satu faktor yang banyak mendukung
perkembangan dan keterimaan Komtal adalah hasil penelitian yang meliputi :
·
Penelitian tentang mutu pendidikan anak
tunarungu sebagai hasil metode oral.
·
Pengaruh penerapan isyarat terhadap
berbagai aspek perkembangan bahasa anak tunarungu dan penyampaian
pesan/informasi.
·
Penelitian terhadap bahasa isyarat.
·
Penelitian terhadap fase awal
perkembangan bahasa.
a.
Penelitian Mutu Pendidikan Dengan
Metode Oral
Iet v. Bekkum (1981) berdasarkan penelitian berbagai ahli
mengemukakan bahwa mutu pendidikan sebagai hasil penerapan metode oral sering
tidak memuaskan. Ternyata kemampuan membacanya kebanyakan anak tunarungu
setelah mengikuti pendidikan hanya akan mencapai taraf membaca kelas 4 atau 5
(Conrad dari Inggris, 1976), prestasi sekolah pada umumnya ketinggalan daripada
anak dengar (Vernon dari Amerika Serikat, 1976) dan kejelasan bicara tidak
memuaskan (de Yonge dari negeri Belanda, 1980, Conrad, 1976). Faktor yang
menentukan untuk keberhasilan dalam kehidupan sosial dan bekerja di masyarakat
adalah kemampuan bahasa dan bicara. Namun ternyata banyak anak tunarungu
walaupun sebenarnya cerdas tidak menunjukkan hasil yang sebanding dengan kerja
keras dan usaha guru maupun orang tua dalam mendidik mereka.
b.
Penelitian Pengaruh Penerapan
Isyarat dan Ejaan Jari
Iet v. Bekkum dan kawan-kawan (1981), membedakan tiga jenis
penelitian dalam bidang ini yaitu :
§ Penelitian
yang dirancang dengan cara “ex-post facto”, yaitu membandingkan dan menilai
prestasi yang telah dicapai dua kelompok (atau lebih) anak tuli setelah dididik
dengan metode komunikasi yang berbeda.
§ Rancangan
berupa eksperimen dengan mengadakan penilaian atau tes sebelum dan sesudah
suatu program dilaksanakan dalam pendidikan anak.
§ Studi
kasus yaitu mengumpulkan data yang sistematis mengenai perkembangan bahasa pada
anak-anak tertentu.
Berikut ini akan
diuraikan dengan lebih terinci hasil masing-masing penelitian :
1)
Studi
Ex-post-facto
Jenis riset ini terutama membandingkan prestasi
antara anak tuli dan orangtua yang juga tuli yang dididik dengan metode isyarat
dngan prestasi anak tuli dari orangtua yang mendengar (normal) dan dididik
secara oral.
Obyek penelitian adalah pengaruh komunikasi
isyarat terhadap berbagai aspek penguasaan bahasa dan mengenai peran isyarat
sebagai alat untuk menyampaikan informasi. Penelitian jenis ini antara lain
dilakukan oleh Quigley & Frisinai (1961), Stuckless & Birch (1966),
Meadow (1968), dan Vernon & Koh (1970-1971).
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan
penelitian ex-post-facto ini adalah bahwa penggunaan komunikasi isyarat sejak
usia dini ternyata :
a)
Tidak merugikan kejelasan bicara,
kelompok oral secara tara-rata memiliki kemampuan bicara sedikit lebih jelas
daripada kelompok isyarat namun perbedaan tidak signifikan.
b)
Dapat memajukan keterampilan membaca
ujaran.
c)
Berpengaruh posotif terhadap
perkembangan kemampuan membaca dan menulis.
d)
Tidak berpengaruh negatif terhadap
penyesuaian psikososial, malahan kelompok isyarat menunjukkan penyesuaian
sedikit lebih baik daripada kelompok oral walaupun tak signifikan.
2)
Studi
dengan eksperimen
Pada studi semacam ini anak dites sebelum dan sesudah
mengikuti pendidikan dengan metode komunikasi tertentu. Hasil tes kemudian
dibandingkan sehingga dapat ditarik kesimpulan tentang pengaruh metode
tertentu.
Eksperimen yang terkenal adalah yang dilakukan oleh Quigley
(1963). Ia membandingkan kemampuan bahasa kelompok anak tuli yang dididik
melalui metode Rochester (penggunaan bicara dan ejaan jari secara serempak)
dengan kelompok yang dididik dengan metode oral. Tes kemampuan bahasa yang
digunakan meliputi tes membaca dan suatu tes keterampilan berbahasa yang
terdiri dari lima subtes. Anak dites sebelum mengikuti pendidikan dan selama 4
tahun dites ulang sekali setahun. Quigley mengulang eksperimen ini dengan
membandingkan kelompok Rochester dengan kelompok yang dididik melalui metode
simultan ( bicara dikombinasikan dengan isyarat). Hasil eksperimen ini juga
menunjukkan kelebihan kelompok Rochester di atas kelompok lainnya terutama
untuk membaca, menulis, dan berhitung. Untuk kemampuan bicara dan baca ujaran
tidak ditemukan perbedaan.
3)
Studi
kasus
Salah satu studi kasus yang banyak dikenal adalah dari Schlesinger
& Meadow (1972). Mereka mengumpulkan data perkembangan bahasa dua anak tuli
(R dan M). Sejak permulaan mereka dididik dengan komunikasi oral maupun
isyarat. Tujuan penelitian :
1.
Mencari kebenaran tentang pendapat bahwa
penggunaan serempak antara dua sistem komunikasi akan saling menghambat
perkembangan masing-masing, dan
2.
Untuk mengetahui apakah benar bahwa
perkembangan bicara anak yang dididik dengan isyarat akan terlambat.
R diteliti sejak usia
2,11 tahun sampai 3,3 tahun dan selama periode ini menunjukkan perkembangan
sebagai berikut:
ü Dalam
berkomunikasi R semakin banyak menggunakan keterampilan bicara yaitu dari 10%
menjadi 29% dari segala ungkapan.
ü Penggunaan
isyarat untuk berkomunikasi makin berkurang yaitu dari 22% menjadi 4%.
ü Sedangkan
penggunaan isyarat dalam kombinasi dengan bicara dapat dikatakan tetap yaitu
sekitar 68% dari segala ungkapan.
M diteliti mulai usia
3,4 sampai 4,8 tahun, dan selama periode ini menunjukkan perkembangan sebagai
berikut:
ü Keterampilan
bicara berkembang yaitu dari 12% menjadi 18% dari semua ungkapan.
ü Penggunaan
isyarat berkurang dari 79% menjadi 58%.
ü Penggunaan
isyarat dengan bicara secara serempak bertambah dari 9% menjadi 24%.
Dari studi
kasus ini diperoleh kesimpulan yang menentang pendapat bahwa anak yang dididik
dengan dua sistem komunikasi sekaligus tidak akan mengembangkan masing-masing
sistem komunikasinya. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa kemampuan bicara pun
tak akan dirugikan, dalam kedua kasus penggunaan isyarat berkurang dan
penggunaan bicara bertambah.
c.
Penelitian Terhadap Bahasa Isyarat
Seorang ahli
yang banyak mengungkapkan tentang bahasa isyarat ASL ini adalah Stokoe (1960).
Berkat penelitiannya, makin diketahui bahwa bahasa yang sebelumnya dipandang
“rendah” juga mempunyai sistem walaupun sistem tersebut berbeda dari bahasa
lisan masyarakat.
Ternyata kaum
tunarungu di Amerika Serikat dalam menggunakan ASL banyak terpengaruh oleh
struktur bahasa masyarakat atau bahasa inggris, sehingga dalam berkomunikasi
menggunakan campuran dari isyarat ASL, ejaan jari, dan bahasa Inggris lisan.
Makin banyak
pula usaha untuk menyusun bahasa isyarat yang memiliki struktur yang sama
dengan bahasa lisan masyarakat seperti telah mulai dirintis oleh de L’Epee
dalam abad ke XVII. Semua ini menunjukkan makin banyaknya perhatian mayoritas
terhadap bahasa isyarat kaum tunarungu sebagai salah satu komponen Komtal.
d.
Penelitian Fase Awal Perkembangan Bahasa
Interaksi ibu
dengan anak dengar pada fase awal kehidupan terutama berlangsung secara
nonverbal. Bersamaan waktu dengan bentuk komunikasi ini seorang ibu akan
menggunakan ungkapan bahasa verbal sehingga lama kelamaan gerakan/isyarat akan
diganti dengan kata-kata.
Pada anak
tuli, hal tersebut tentu tidak akan terjadi karena kemampuan pendengaran
tidak/kurang ada. Bila ibunya tidak akan mengembangkan suatu sistem komunikasi yang visual dengan
anak maka perkembangan bahasa akan terhambat, sebagai akibat perkembangan
bicara pun terganggu. Tambahan lagi di satu pihak anak tidak diberi kemungkinan
untuk mengungkapkan perasaan serta keinginannya selain dalam bentuk primitif
dan di pihak lain ibunya pun akan terhalang dalam menyalurkan kebutuhan akan
komunikasi dengan anaknya. Komtal diharapkan akan memberi lebih banyak
kemungkinan untuk mengembangkan kemampuan bahasa anak dan kemudian secara tidak
langsung kemampuan bicaranya.
Voltera
menganalisa perkembangan gesti dan kosa kata isyarat serta kata pada sejumlah
anak dengar dan anak tuli antara usia 1 – 2 tahun (anak tuli dalam studi kasus
ini mempunyai orang tua yang juga tuli, yang berisyarat dengan mereka). Analisa
tersebut memberi informasi tentang peran masukan kebahasaan dalam fase
pra-bahasa mereka.
Pada
hakekatnya anak perlu mengembangkan kemampuan untuk membeda-bedakan berbagai
aspek atau bagian dari dunianya yaitu berupa berbagai kegiatan benda, manusia,
dan kejadian. Dalam mengadakan komunikasi dengan dunianya, mereka akan
menggunakan dua cara yaitu:
Pertama, secara langsung menunjuk pada
benda/manusia/kejadian dengan gerak seperti menunjuk, memperlihatkan sesuatu
dan memberikan sesuatu. Cara ini dinamakan juga gesti langsung.
Kedua, dengan menggunakan berbagai lambang
untuk mewakili hal-hal dalam dunianya baik bersifat vokal maupun gesti. Lambang
vokal dalam hal ini adalah kata-kata sedangkan gesti dalam hal ini merupakan
gerakan di luar gesti langsung yang telah disebut sebelumnya yaitu gesti yang
mewakili berbagai aspek dunianya dan telah disepakati bersama antara anak dan
lingkungan berdasarkan interaksi/pengalaman bersama dan biasanya berhubungan
dengan pengenal anak terhadap fungsi benda-benda seperti misalnya gesti untuk
makan, minum dan sebagainya, juga disebut gesti
tak langsung.
Dari penelitian ini terungkap hasil sebagai berikut:
a)
Anak dengar mampu menggunakan lambang, baik yang bersifat vokal (kata)
maupun gesti. Dalam melakukan penggabungan mereka mampu menggunakan
penggabungan antara dua atau lebih gesti langsung maupun antara gesti langsung
dengan lambang (baik berupa gesti tak langsung dan kata). Tetapi mereka tidak
akan menggunakan penggabungan antara dua gesti tak langsung melainkan
menggabungkan kata dengan kata.
b)
Anak tuli ternyata akan mengikuti perkembangan serupa terutama yang
menyangkut kemampuan untuk gesti langsung dan tak langsung. Perbedaan terletak dalam kemampuan penggabungan. Mereka akan
sedikit sekali menggunakan penggabungan antara gesti langsung (maupun tak
langsung) dengan kata, melainkan akan lebih banyak mengadakan penggabungan
antara dua gesti tak langsung.
Kesimpulan
studi ini adalah bahwa kemampuan untuk menggunakan gesti sebagai lambang (gesti
tak langsung) maupun penggabungan gesti untuk berkomunikasi tidak tergantung
secara langsung dari penyajian kebahasaan, karena tidak terdapat perbedaan
antara anak dengar dengan anak tuli dalam kemampuan tersebut. Berbeda dengan
kemampuan untuk menggunakan penggabungan lambang-lambang. Anak yang dididik
dengan bahasa lisan akan menggunakan penggabungan antara dua lambang vokal
(kata) sedangkan anak tuli yang dididik dengan bahasa isyarat akan
menggabungkan dua lambang gesti tak langsung.
Kemampuan
penggabungan lambang merupakan pertanda dari tahap awal perkembangan berbahasa
sesungguhnya yaitu suatu bahasa yang bersistem.
Secara tidak langsung penelitian ini telah menunjukkan bahwa untuk
mengembangkan kemampuan tersebut bersyaratkan adanya penyajian kebahasaan.
Sedangkan mengenai media bisa bahasa lisan maupun isyarat. Atau dapat dikatakan
bila anak tuli tidak dikenalkan dengan bahasa isyarat atau sistem komunikasi
visual, kemampuan bahasa tidak berkembang.
Berdasarkan faktor-faktor yang
telah diuraikan sebelumnya timbullah pandangan yang menganjurkan penggunaan
penggabungan media oral dan isyarat dalam mendidik anak tuli yang kemudian
dikenal sebagai Komunikasi Total.
2.3 Manfaat Komunikasi Total
Komtal
telah di terapkan secara makin meluas di Amerika Serikat, Australia dan
berbagai negara di eropa selama dua puluh tahun belakangan ini. Sekarang perlu
di pertanyakan hasil apa yang dicapai dalam pendidikan anak tunarungu dengan
menerapkan komtal. Menurut M. Hyde dalam Munas IV & Lokakarya FNKTRI, 1991
& Penlok PNKTRI 1994 hasil yang telah dicapai sebagai berikut :
Pertama,
dalam bidang perkembangan sosial – emosional telah di peroleh cukup banyak data
bahwa sebagian besar kaum tunarungu akan menjadi lebih baik dalam aspek
tersebut. Dari literature dapat diketahui bahwa kematangan sosial, penyesuaian
diri dan konsep diri kaum tunarungu pada umumnya mengalami gangguan. Keadaan itu
terutama di sebabkan oleh kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi.
Dengan menerapkan komtal, kekurangan itu akan lebih mudah di atasai dan secara
tak langsung memperbaiki perkembangan sosial-emosional mereka.
Kedua,
dalam bidang penguasaan bahasa, ternyata bahwa dengan mengikuti program komtal
lebih banyak siswa tunarungu berhasil mencapai prestasi pada taraf rata – rata
dibandingkan keadaan sebelumnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa malalui
penerapan komtal yang baik dengan sistem isyarat (bukan bahasa isyarat), anak
tunarungu telah diberi kesempatan guna memperoleh akses penuh terhadap bahasa
sehingga memiliki kemungkinan lebih besar untuk menguasai aturan lisan bahasa
lisan masyarakat. Salah satu studi mengungkapkan bahwa spek bahasa yang tetap
merupakan kesulitan bagi mereka berhubungan dengan slah satu aturan bahasa
inggris yaitu tentang perubahan pada bentuk kata kerja guna menyatakan masa
lampau. Namun mereka berhasil mencapai prestasi rata – rata untuk penguasaan jumlah kosakata, susunan
kata dalam kalimat, dan kemampuan menyusun kalimat kompleks.
Ketiga,
mengenai tingkat pendidikan yang bisa dicapai, ternyata makin banyak siswa
dapat menmatkan pendidikan pada tingkat lanjutan dan meneruskan perguruan
tinggi di Australia dan Amerika Serikat. Namun M. Hyde juga mengingatkan bahwa
hasil yang dicapai itu bukan semata – mata diakibatkan karena penerapan komtal
melainkan merupakan gabungan dari beberapa faktor lain seperti tersediannya
alat bantu mendengar yang semakin canggih secara cuma -cuma dan peningkatan
kondisi negara secara keseluruhan. Sejalan dengan uraian di atas, L. Evans
(1982) mengemukakan bahwa dengan makin berkembangnya penerapan komtal di
Amerika Serikat, kaum tunarungu makin memperoleh posisi sebagai tenaga
professional dalam dunia pendidikan. Yaitu makin banyak tunarungu yang di
angkat menjadi guru di SLB-B. namun dari mereka tentu juga di tuntut agar mampu
berfungsi sesuai dengan konsep komtal yaitu memiliki kemampuan bahasa inggris
yang baik dan benar.
2.4 Komponen Komunikasi Total
Dalam
komtal tidak berbeda dengan cara komunikasi lain, dapat di bedakan antar bentuk
komunikasi ekspresif (pengiriman pesan) dan bentuk komunikasi reseptif
(penerimaan pesan). Komponen komunikasi ekspresif meliputi bicara, berisyarat
dan ejaan jari, menulis serta (panto) mimic. Sedangkan komponen komunikasi
reseptif meliputi antara lain baca ujaran, “membaca” ejaan jari, isyarat serta
mimic, pemanfaatn sisa pendengaran dengan bantuan alat dan membaca. Perbedaan
bentuk komunikasi reseptif dan ekspresif anak tunarungu dalam komtal di
bandingkan dengan komunikasi anak yang berpendengaran normal adalah penambahan
isyarat dan ejaan jari secara ekspresif maupun reseptif. Bentuk komunikasi
dapat digambarkan dengan bagan berikut :
Komponen
komtal dapat pula di tinjau dari kode yang digunakan untuk berkomunikasi yaitu
sebagai penggabungan dari kodr verbal dan non – verbal
:
Ejaan
jari di golongkan sebagai kode verbal karena terdiri dari unsur/gerak yang
mewakili huruf dari abjad (Van Uden, 1979). Di samping ke dua tinjauan di atas
, komponen komtal dapat pula di pandang sebagai gabungan antara tiga cara yaitu
media komunikasi yang meliputi oral, aural, dan manual, dan dapat digambarkan
dengan bagan berikut :
Uraian
singkat tentang ketiga komponen atau media tersebut adalah sebagai berikut :
1)
Komponen
Oral
a) Bicara
Semua
anak tunarungu perlu diberi kesempatan guna mengembangkan ketrampilan bicara.
Dalam program komtalpun, kita perlu berbicara dengan mereka dan menyediakan
waktu khusus untuk latiha bicara. Banyak guru mempunyai anggapan bahwa bila
sudah menerapkan komtal dan mereka mengjar dengan isyarat sambil berbicara,
siswa dengan sendiri akan mampu baca ujaran dan bicara. Hal itu tidak benar dan
tidak terjadi (M. Hyde,dalam hasil PenlokFNKTRI,1991,1993). Maka latihan bicara
tetap perlu dilakukan secara intensif. Selanjutnya hasil latihan pada anak
tunarungu tentu banyak tergantung dari tingkat kehilangan pendengaran yang di
derita. Faktor lain yang juga sangat mempengaruhi adalah sikap dan keahlian
guru.
Mengenai
seluk-beluk pelaksanaan bina bicara pada anak tunarungu dapat dipelajari pada
buku ajar khusus tentang bidang tersebut. Disini hanya akan diuraikan beberapa
patokan umum yang perlu diingat tenaga pendidik mengenai pembinaan bicara yaitu
:
Pertama,
diatas telah dikemukakan bahwa ketrampilan bicara anak sebenarnya menggambarkan
tingkat ketunarunguannya atau daya dengar untuk konsonan dan vocal. Maka
menurut pandangan Des Power ketrampilan bicara anak tunarungu yang kurang baik
atau pelafalan yang salah, sebenarnya tidak bisa di samakan dengan kesalahan
yang dibuat dalam soal matematika misalnya, melainkan perlu ditinjau dari apa
yang masih mampu di dengar anak. Pandangan seperti ini, tentu akan mempengaruhi
sikap guru dalam membina anak. Sejalan dengan pandangan ini istilah perbaikan
bicara (speech correction) atau terapi bicara (speech therapy) menjadi kurang
tepat dan istilah speech development atau pengembangan bicara lebih baik. Maka
dalam melatih anak, guru perlu menggunakan suatu pendekatan yang diwarnai
kerangka berpikir yang berbeda daripada sekedar membetulkan tulisan atau
jawaban soal hitungan yang salah, yaitu pendekatan yang mengutamakan terjadinya
pengembangan ketrampilan anak (developmental approach).
Kedua,
usaha pengembangan bicara sebagai salah ssatu aspek dari pengembangan kemampuan
berkomunikasi perlu dikaitkan dengan perolehan makna atau pengertian. Artinya
anak pada awal jangan terlalu cepat dituntut untuk bisa bicara sebelum
penguasaan bahasa reseptif berkembang. Hal itu juga tidak terjadi dalam
perkembangan bahasa anak dengan pendengaran normal. Seperti dapat dikutip dari
E.C. Glendenning (1977) : “masukan bahasa yang banyak merupakan suatu kebutuhan
sebelum anak dapat menggunakan aspek ekspresif bahasa yaitu bicara”.
Dalam
program oral, bahasa reseptif atau kemampuan untuk memahami bahasa lingkungan
berkembang terutama melalui pengamatan terhadap gerak bibir sebagai lambang visual
dalam situasi atau pengalaman komunikasi (Myklebust 1963). Dengan komtal hal
itu akan mendapat lebih banyak kemudahan melalui pengamatan gerak isyarat.
Secara praktis dapat dikatakan bahwa dalam membina bicara anak, jangan dilatih
melafalkan kata yang berasal dari sembarang daftar kata, melainkan perlu
berasal dari kata yang sudah dikenal dan dipahami melalui situasi komunikasi.
Ketiga,
seorang guru anak tunarungu perlu mengenal dan menghafal semua istilah bagian
organ bicara dan proses terjadinya bicara. Hal ini akan membantu guru dalam
membina anak dan mempermudah diskusi dengan sesame teman sejawat mengenai
masalah bina bicara (M. Hyde, dalam Hasil Penlok FNKTRI, 1993)
Keempat,
seorang guru perlu menguasai bagan bunyi bahasa yang ada dalam bahasa
indonesia. Dengan demikian guru akan trampil membina anak karena menguasai
ciri-ciri segmental tiap bunyi bahasa, sehingga adalam pembentukan mengetahui
bunyi mana menggetarkan pita suara, bagaimana cara memproduksi /
mengartikulasi, dan dimana tempat pembentukan / daerah artikulasinya.
Menurut
tata bahasa Indonesia yang berlaku kini, dalam bahasa Indonesia terdapat 32
bunyi bahasa.bandingkan dengan Bahasa Inggris yang memiliki 43 bunyi bahasa.
Keuntungan lain dari bahasa Indonesia untuk anak Tunarung adalah bahasa yang
diucapkan sama dengan yang ditulis, berbeda dengan bahasa Inggris (M. Hyde, dalam
hasil penlok FNKTRI, 1993). Selanjutnya bukan hanya aspek segmental bunyi
bahasa yang perlu diajarkan melainkan juga aspek suprasegmental yaitu berupa
intonasi, tekanan, dan tempo bicara. Menurut Des Power (dalam buku yang sama),
aspek terakhir ini bahkan perlu didahulukan. Maksudnya latihan artikulasi vokal
dan konsonan perlu di tunda sampai aspek suprasegmental berkembang antara lain
melalui kegiatan mencari. Tokoh yang sama mengemukakan bahwa dengan bekal
intonasi dan suara yang baik, kualitas pelafalan unsure segmental akan lebih
baik pula.
Kelima,
bila anak memakai Alat Bantu Mendengar (ABM) kita perlu meneliti pengaruh
ketunarunguan anak (setelah memakai ABM) terhadap ketrampilan menyimak bunyi
bahasa. Dengan demikian guru akan mengetahui bunyi bahasa mana masih bisa
dibentuk melalui pendengaran anak dan mana perlu dilakukan melalui
penglihatan/perabaan/kinstetik.
Keenam,
bagi anak tunarungu yang sudah besar belum cukup bila mereka hanya dapat bicara
dengan baik, melainkan guru perlu menuntun mereka agar mempunyai gambaran atau
kesadaran tentang ketrampilan bicaranya. Hanya dengan demikian akan
dikembangkan control dari pada anak (A. Van Uden, 1980, Des Power, 1993)
b) Membaca
Ujaran
Selain
istilah membaca bibir yang mencangkup pengamatan visual dari bentuk dan gerak
bibir lawan bicara, juga dikenal istilah membaca ujaran (speech reading). Yang
terakhir ini merupakan kegiatan yang mencangkup lebih dari sekedar pengamatan
gerak bibir yaitu melibatkan pengamatan atas bahasa tubuh, ekspresi, dan konteks
secara keseluruhan dimana komunikasi ini berlangsung.
Menurut
M. Hyde dalam Penlok FNKTRI, 1993, berdasarkan penelitian untuk bahasa Inggris,
hanya kurang lebih 25% dari ujaran seseorang dapat “dibaca” namun seorang
pembaca ujaran yang terampil masih mampu menangkap sekitar 70-80% dari ujaran
lawan bicara. Hal ini disebabkan karena adanya kompensasi dari pengetahuan
bahasa yang telah dimiliki serta pengetahuan tentang pokok pembicaraan. Agar
seseorang terampil dalam membaca ujaran, syarat utama adalah telah dimilikinya
suatu taraf penguasaan bahasa tertentu.
Beberapa
penelitian oleh beberapa ahli telah menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara
taraf inteligensi dan kemampuan membaca ujaran. Walaupun hasil penelitian mengenai
hal tersebut bertentangan satu sama lain tetapi secara garis besar dapat
disimpulakan bahwa taraf inteligensi secara tidak langsung mempunyai korelasi
positif dengan kemampuan membaca ujran, terutama karena taraf inteligensi yang
tinggi menunjang taraf penguasaan bahasa seseorang. Korelasi yang langsung
antara kemampuan membaca ujaran seseorang dengan kemampuan bahasa telah
dibuktikan pula oleh Evans (1978) dalam suatu penelitian diman ia membandingkan
hasil tes kemampuan ujaran anak tuli dengan hasil tes kemampuan membaca. Dari
sumber yang sama diketahui juga bahwa berdasarkan penelitian di Inggris tidak
ditemukan korelasi antara keterampilan baca ujaran dan ketajaman
penglihatannamun ada kaitan dengan daya ingat visual untuk bentuk-bentuk yang
non-verbal.
Suatu
pandangan yang menarik dikemukakan oleh Van Uden (1968) yang menggolongkan
kemampuan baca ujaran sebagi suatu kegiatan yang bersifat visual motorik.
Secara lazim seseorang tidak akan mengamati gerak tangan atau koordinasi mata
tangan. Namun untuk anak tuli koordinasi mata bibir perlu dikembangkan, agar
kemampuan membaca ujaran tumbauh. Caranya adalah dengan menggunakan cermin
sewaktu latiha bicara; dengan ini anak akan dibiasakan untuk mengamati gerak
bibir sendiri sewaktu bicara sebagai permainan untuk membaca bibir orang lain.
Berdasarkan pengelaman dalam mengamati gerak bibir sendiri anak belajar untuk
mencari gerakan itu pada lawan bicara sehingga akan lebih terampil membaca
ujaran.
Akhir
kata dapat dikemukakan bahwa kegiatan membaca ujaran dengan segala kelemahan
yang ada tetap merupakan suatu sarana yang sangat berharga dan dalam bidang
komtal tak boleh dilupakan. Asal beberpa persyaratan dipenuhi seperti adanya
ketrampilan berbahasa tertentu, pengetahuan tentang topic yang dibicarakan dan
permasalahn teknik lain seperti selalu bertatapan muka dan pada jarak yang tak
terlalu jauh dari lawan bicara, penerangan yang cukup dan sebagainya (M. Hyde,
dalam buku Penlok FNKTRI, 1993)
2. Komponen
Aural
Dalam
program komtal yang baik, penggunaan Alat Bantu Mendengar (ABM) baik untuk perseorangan
maupun kelompok tetap memegang peran yang penting (I Van Bekkum dkk, 1981).
Sisa
pendengaran yang memiliki anak tunarungu, betapa sedikitpun perlu difungsikan guna meningkatkan kemampuan komunikasi mereka.
Pemanfaatan sisa pendengaran meliputi kegiatan pembinaan secara audiologik
yaitu pemilihan sreta penyesuaian Alat Bantu Mendengar (ABM) yang sesuai bagi
anak berikut perawatannya dan kegiatan pembinaan audiotorik yaitu berupa
latihan pendengaran atau pembinan persepsi bunyi, dan irama.
Mengenai
seluk-beluk pembinaan persepsi bunyi dan irama dapat dipelajari pada buku ajar
yang berjudul : Bina Bicara Persepsi Bunyi dan Irama.
3. Komponen
Manual
Menegenai
komponen dan jenis komponen manual yang ada dalam pendidikan untuk tunarungu
telah diuraikan secara lengkap dalam Bab I. disini penulis ingin menegaskan
kembali apa yang diuraikan oleh S.P.Quigley dan R.E. Kretschmer (1982) tentang
penerapan komtal waktu mulai diperkenalkan di Amerika Serikat. Waktu itu Denton
(1970) mengemukakan pengertian komtal sebagai “ hak anak tuli untuk mempelajari
semua bentuk komunikasi yang tersedia guna mengembangkan kemampuan bahasa”
Sebagai
akibat, banyak SLB-B mulai menerapkan berbagai bentuk komunikasi isyarat dalam
kombinasi dengan komponen oral dan menganggap hal itu sebagai komtal. Namun
kedua tokoh tersebut menegaskan bahwa berdasarkan penelitian jensema dan Trybus
(1978) keadaan di banyak SLB-B waktu itu lebih tepat dinamakan sebagai “Total
Confusion” dan bukan Total Comunication atau komunikasi yang membingungkan dan
bukan komunikasi yang lengkap dan total. Mereka kemukakan hal itu karena tidak
adanya keajegan dalam bentuk komunikasi/isyarat yang digunakan di satu sekolah
maupun diantara kelas, asrama, dan keluarga anak. Padahal keajegan dalam bentuk
masukan bahasa bagi setiap anak (tunarungu maupun yang berpendengaran normal)
merupakan persyaratan utama dalam mengembangkan kemampuan berbahasa mereka.
Selanjutnya kedua tokoh yang disebut pertama mengemukakan bahwa sampai saat ini belum ada bukti tentang
keunggulan salah satu bentuk komunikasi dalam pendidikan tunarungu. Namun di
Amerika Serikat, bentuk komunikasi manual yang terbukti lestari dan tahan uji
adalah: American Sign Language (Bahasa Isyarat Amerika/ASL) dan Manual English
atau Sistem Isyarat Bahasa Inggris. Penerapan Sitem Isyarat sejak usia dini
telah terbukti berguna dalam mengahasilkan kemampuan berbahasa dan perkembangan
pendidikan yang lebih baik daripada penerapan ASL (Basel dan Quigly, 1977).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan
menghimpun pendapat berbagai ahli ini secara garis besar dapat hakekat komtal
adalah :
1.
Pengakuan atas hak kaum tunarungu untuk
mendapat komtal sepenuhnya dengan sesama manusia sehingga memperoleh pemahaman
yang lebih lengkap tentang dunia.
2.
Penggunaan berbagai cara komunikasi
aural, oral, dan manual yang dapat di pilih sesuai kebutuhan serta kemampuan
perseorangan
3.
Suatu falsafah komunikasi dan bukan
metode pengajaran.
Landasan
komtal dipandang dari segi falsafah komunkasi dalam pendidikan anak tunarungu
sebagaimana berkembang di amerika serikat.
1. Landasan
filosofis komunikasi total
2. Landasan
konseptual komunikasi Total
3. Landasan
sosial dan psikologi
4. Landasan
Empiris Komunikasi Total
Menurut
M. Hyde dalam Munas IV & Lokakarya FNKTRI, 1991 & Penlok PNKTRI 1994
hasil yang telah dicapai dalam pendidikan anak tunarungu dengan menerapkan
komtal sebagai berikut :
Pertama,
dalam bidang perkembangan sosial – emosional telah di peroleh cukup banyak data
bahwa sebagian besar kaum tunarungu akan menjadi lebih baik dalam aspek
tersebut. Kedua, dalam bidang penguasaan bahasa, ternyata bahwa dengan
mengikuti program komtal lebih banyak siswa tunarungu berhasil mencapai
prestasi pada taraf rata – rata dibandingkan keadaan sebelumnya. Ketiga,
mengenai tingkat pendidikan yang bisa dicapai, ternyata makin banyak siswa
dapat menmatkan pendidikan pada tingkat lanjutan dan meneruskan perguruan
tinggi di Australia dan Amerika Serikat. Komponen Komunikasi Total :
1. Komponen
Oral : 2. Komponen Aural 3. Komponen Manual
-
Bicara
-
Membaca Ujaran
DAFTAR RUJUKAN
Bunawan,
Lani. 1997. Komunikasi Total. Jakarta : Depaertemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik