Senin, 15 Juni 2015

Komunikasi Total



BAB I
PENDAHULAN
1.1  Latar Belakang
Setelah mempelajari bab sebelumnya, anda sebenarnya sedikit banyak telah mendapat gambaran menenai komtal. Secara singkat sering dikatan bahwa komtal merupakan suatu pendekatan yang menganjurkan pemakaian media oral dan isyarat yang di gabung dalam mendidik anak tunarungu. Anjuran ini merupakan akibat dari perubahan pandangan yang terjadi pada kebanyakan pendidik tunarungu yaitu mereka menjadi lebih terbuka daripada waktu sebelumnya karena makin peduli terhadap rendahnya mutu pendidikan anak tunarungu sebagaimana terungkap dari berbagai hasil penelitian (L. Evans, 1982)
Melalui penerapan komtal diharapkan pesan komunikasi menjadi lebih lengkap atau total sehingga mutu pendidikan pun meningkat. Namun sebelum anda dapat menerapkan pendekatan tersebut anda perlu ketahui bagaimana pandangan berbagai ahli mengenai komtal ini, kemudian manfaat serta efektivitas penerapannya sampai saat ini. Secara garis besar perlu pula diberikan gambaran bagaimana ketiga gambaran yaitu oral, pendengaran (aural), dan isyarat (manual) berperan dalam komunikasi total.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Komunikasi Total ?
2.      Bagaimana Munculnya Komunikasi Total dan apa Faktor Pendorongnya ?
3.      Apa Manfaat Komunikasi Total ?
4.      Apasaja Komponen Komunikasi Total ?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui Pengertian Komunikasi Total.
2.      Untuk mengetahui Munculnya Komunikasi Total dan apa Faktor Pendorongnya.
3.      Untuk mengetahui Manfaat Komunikasi Total.
4.      Untuk mengetahui Komponen Komunikasi Total.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Komunikasi Total
            L. Evans (1982) dengan mengutip Garretson (1976) mencatat bahwa tokoh yang pertamakali menggunakan istilah komtal adalah Roy Holcomb. Tokoh ini menggunakan istilah terssebut untuk menggambarkan keluwesan dalam cara berkomunikasi sebagaimana diterapkan di suatu sekolah di daerah California, Amerika Serikat. Istilah ini kemudian di populerkan oleh D. Denton (1968) yang menggambarkan komtal sebagai berikut :
            Keseluruhan spectrum cara berbahasa yang lengkap, gesti anak, bahasa isyarat, baca ujaran, ejaan jari, membaca dan menulis. Pengembangan sisa pendengaran guna memajukan ketrampilan bicara dan baca ujaran.
            Tokoh lain yaitu Vernon (1972) yang memberi penekanan pada peran isyarat dan ejaan jari guna menunjang keterbatasan baca ujaran dan memberi batasan sebagai berikut :
            Komtal merupakan suatu cara yang konstruktif dalam menghadapi keterbatasan kemampuan baca ujaran. Anak tuli di didik dan di beri kesempatan untuk berkomunikasi dengan suatu sistem yang tidak meragukan bagi mereka sebagaimana bahasa lisan untuk anak dengar.
            Batasan Brill yang di kemukakan dalam suatu seminar internasional di London tahun 1975, menekankan pada berbagai media komunikasi yang di gunakan yaitu :
            Komtal meliputi penggunaan salah satu dan semua modus atau cara komunikasi yaitu penggunaan sistem bahasa isyarat, ejaan jari, bicara, baca ujaran, amplifikasi (pengerasan), gesti, pantomimic, menggambar, dan menulis. Dalam pengungkapan diri dapat digunakan misalnya bicara, salah satu bentuk komunikasi manual, dan amplifikasi secara serempak. Untuk menangkap pesan dapat di terima melalui hanya salah satu atau dua / lebih cara secara serempak.
            L. Evans juga mengutip suatu batasan yang menggugah keterlibatan dan kepedulian masyarakat yang berpendengaran normal, seperti di kemukakan oleh Merill (1937) yang menggambarkan komtal sebagai konsep yang :
            Melibatkan segala cara komunikasi dengan dan oleh kaum tunarungu. Dari pihak orang yang berpendengaran normal dituntut untuk menggunakan bicara, isyarat, ejaan jari dan tata bahasa (inggris) yang benar. Dari pihak kaum tunarungu juga di tuntut demikian, ditambah upaya sepenuhnya untuk memfungsikan sisa pendengaran.
            Berbagai ahli memandang komtal sebagai suatu falsafah dan bukan suatu metode seperti tercermin dari tiga batasan berikut :
            Komtal adalah suatu falsafah yang mencangkup cara komunikasi aural, manual, dan oral sehingga terjadi komunikasi yang efektif dengan dan diantara kaum tunarungu.
(Hasil Konperensi SLB-B di Amerika Derikat,1976 di kutip L. Dickers, 1975)
Komunikasi total menggambarkan suatu falsafah komunikasi bukan metode pengajaran atau bentuk komunikasi melainkan dapat di umpamakan sebagai suatu tujuan pendidikan. Tujuannya adalah untuk mengungkap bahasa yang digunakan masyarakat dalam berbagai cara (meliputi bicara, baca ujaran, isyarat, ejaan jari, membaca, dan menulis) sehingga memungkinkan komunikasi yang lebih lengkap. Upaya ini di dasarkan pada asumsi bahwa bila cara – cara tersebut di gunakan maka pemahaman anak tunarungu akan menjadi lebih baik. (M. Hyde, dalam Buku Hasil Penlok FNKTRI 1983, 1994). Komtal bukan merupakan suatu metode melainkan suatu falsafah untuk mendekati setiap situasi komunikasi. (Cokely, 1979 dalam buku L. Evans, 1982)
            Batasan ini dianut lembaga pendidikan terkenal bernama Gallaudet di Washington DC, Amerika Serikat yang menyelenggarakan pendidikan dari tingkat pra – sekolah sampai perguruan tinggi dengan komunikasi total. Falasafah komtal di lembaga pendidikan ini di dasarkan atas kenyataan bahwa akan terjadi hambatan bagi perorangan maupun situasi tertentu bila hanya di gunakan suatu media komunikasi. Dengan demikian pilihan terhadap media tertentu atau kombinasi dari media – media itu seyogyanya didasarkan atas 3 kriteria berikut :
1.      Tujuan, hambatan, dan tuntutan situasi yang ada.
2.      Kemampuan komunikasi anak, baik secara reseptif maupun eksprensif
3.      Ketrampilan dan ketakmampuan lawan bicara yang terlibat dalam situasi tersebut
Penggunaan  komponen komunikasi di sekolah tersebut baik secara terpisah maupun dalam kombinasi adalah :
·         Bahasa Isyarat Amerika (ASL)
·         Seni
·         Baca ujaran
·         Gesti
·         Membaca
·         Media
·         Menulis
·         Drama
·         Pantomin
·         Pendengaran
·         Bahasa Inggris dalam kode Isyarat (Manual Coded English)
·         Bicara maupun Cued Speech
Secara singkat falsafah komtal di sekolah tersebut bertitik tolak dari si anak dan bukan metode berdasarkan pengakuan bahwa tidak semua media komunikasi sama efektif untuk semua anak dalam berbagai situasi. Komtal yidak berpegangan pada suatu media atau kombinasi media tertentu melainkan memberi keleluasaan untuk memilih media atau kombinasi media yang paling efektif bagi anak perseorangan.
Dengan menghimpun pendapat berbagai ahli ini secara garis besar dapat disimpulakn bahwa hakekat komtal adalah :
1.      Pengakuan atas hak kaum tunarungu untuk mendapat komtal sepenuhnya dengan sesama manusia sehingga memperoleh pemahaman yang lebih lengkap tentang dunia.
2.      Penggunaan berbagai cara komunikasi aural, oral, dan manual yang dapat di pilih sesuai kebutuhan serta kemampuan perseorangan
3.      Suatu falsafah komunikasi dan bukan metode pengajaran.
2.2 Munculnya Komunikasi Total Dan Faktor Pendorong
Selama tiga puluh tahun belakangan ini,terutama diamerika serikat, terutama di eropa dan negara lain tampak kecerendungan untuk menerapkan komunikasi total (komtal). Faktor apa saja yang mendorong perkrmbangan komtal ini di berbagai negara? Atau apa rasional pengembanganya?
            Pada bagian awal bab ini anda telah dapat mengikuti perkembangan berbagai metode komunikasi yang telah diterapkan para pendidik di kedua benua tersebut. Secara, garis besar dapat dibedakan antara penganut metode oral dan metode isyarat yang masing2 dengan gigih mempertahankan pendirian mereka. Adanya upuya modifikasi dari beberapa tokoh dengan unculnya metode kombinasi atau serempak sebenarnya tetap takm erubah falsafah yang dianut masing-masing walaupun ada beberapa penelitian yang menunjukkan keunggulan satu metode diatas metode lain, namun kenyataan sampai itu belum satupun yang berhasil mengurangi ketinggalan rata-rata anak tunarungu sebanyak 3-5 tahun dalam bidang prestasi akademik.(L.Dicker,1970). Selanjutnya tokoh ini mengemukakan kekeliruan para pendidik adalah bahwa mereka terlalu berminat dan gandrung terhadap suatu metode tertentu tanpa memikirkan kebutuhan anak yang di didik. Menurut pandanganya, suatu metode dapat dinilai baik atau buruk tergantung dari sasarannya. Misalnya metode braille itu baik,namun pasti tidak dianjurkan untuk kaum tunarungu. Maka sudah tiba masanya untuk mengembangkan suatu falsafah tentang komunikasi yang didasarkan atas teori belajar. Berikut diuraikan mengenai landasan komtal dipandang dari segi falsafah komunkasi dalam pendidikan anak tunarungu sebagaimana berkembang di amerika serikat.
2.2.1        Landasan Filosofis Komunikasi Total
L.Dicker mengemukakan beberapa teori prinsip belajar yang melandasi komtal yaitu:
a. proses belajar, lazimnya berlangsung dari hal umum menuju hal yang khsusus. Komtal memberi kesempatan kepada anak untuk mengadakan komunikasimelalui berbagai media dan bukan membatasi dengan satu media saja.
b. Setiap individu memiliki kecepatan belajar yang berbeda maka dalam suatu kegitan belajar mengajar kebutuhan individu perlu mendapat perhatian seperti dalam komtal.
c. agar proses belajar berjalan lancar, anak perlu memperoleh keberhasilan dalam berbuat sesuatu atau mendapat ganjaran positif(reinforcemen) komtal memberi kesempatan untuk terselenggaranya kegiatan belajar yang sesuai kebutuhan individu dan diperolehnya ganjaran positif melalui terjalinnya komunikasi yang berarti.
      Dengan mengingat teori belajar diatas, maka bukan metode yang peru diunggulkan melainkan perhatian harus dipusatkan pada anak didik. Penerapan suatu metode tertentu, sepenuhnya tergntung dari kebutuhan anak didik. Komtal ditinju dari segi istilah sudah menunjukkan bahwa tidak mengunggulkan salah satu cara cara komunikasi seperti metode-metode sebelumnya. Komunikasi total berarti suatu totalitas atau kelemkapan dalam berkomunikasi,tanpa batasan. Mak komtal sesungguhnya bukan merupakan suatu metode melaikan suatu falsafah tentang komunikasi atuau “it involves  philosophy rather than a method” (L.Evans, 1982 dengan mengutip Garretson, 1976) dan berbagi lainnya hanya merupakan suatu sarana guna mencapai sasaran yaitu komunikasi dalam arti hakiki yaitu untuk mengerti dan di mengerti(L.Dicker,1971). Sejalan dengan pendapat diatas Garretson  mengemukakan bahwa kebanyakan ahli sependapat bahwa komtal:
      Mengakui hak asasi anak tunarungu  yaitu guna memperoleh masuakan maksimal sehingga dapat mencapai pemahaman optimal dan pengertian total dalam suatu komunikasi. It recognizes moral right of the hearing impaired....to maxsimum input in order to attain optimal comprehension and total understanding intha communication situation (1982:14)
      Di tambahkan pula bahwa komtal sebagai suatu pendekatan filosofis “philoshopical approach” membutuhkan suatu suasana yang luwes (fleksibel) bagi seorang tunarungu bebas dari kebingungan , terka menerka dan ketegangan. Diantara berbagai cara komunikasi yang terdapat dalam komtal, tidak ada satupun yang perlu diunggulkan, setiap cara atau modalitas patut diakui sebagai suatu sarana atau alat interaksi manusiawi yang dapat diterima atau “ each modality receives status as an acceptable instrument for human interchange” ( :15)
Sebagai rangkuman dari uraian diatas dapat dikemukakan pandangan dari L.Dicker yang dapat digunakan sebagai pertimbangan agar komtal dapat diterima sebagai suatu  falsafah dalam pendidikan anak tunarungu yaitu:
o Komtal karena mencakup semua metode memiliki peluang yang lebih besar untuk dapat mengejar ketinggalan anak dalam bidang akademis yang belum dicapai oleh metode-metode sebelumnya.
o Komtal sangat memperhatikan perbedaan antar individu dan hal tersebut sudah sesuai dengan prinsip teori belajar.
o Walaupun komunikasi oral merupakan suatu yang sangat didambakan,banyak anak tunarungu sebenarnya yang tidak ingi dibatasi dalam cara komunikasi mereka hanya karena para pendidik memiliki prasangka tertentu. Sudah tiba saatnya untuk memandang permasalhan metode dari sudut kepentingan si anak itu sendiri.

2.2.2        Landasan Konseptual Komunikasi Total
Pada permulaan bab ini telah diuraikan mengenani perbedaan antara bahasa dan komunikasi. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa orang bisa berkomunikasi tanpa bahasa yaitu antar lain dengan ekspresi muka gesti dan sebagainya. Namun akan menjadi lebih efektif bila dalam komunikasi antar dua orang digunakan suatu bahasa atau sama-sama menguasai dan menggunakan kode atau aturan suatu bahasa. (Greg Leigh dalam  Laporan Hasil Penataran-Lokakarya FNKTRI, 1995)
Bahasa mengandalkan dalam beberapa cara komunikasi, lazimnya secara lisan dan tulisan, Baik dalam berbahasa lisan maupun tulisan, kode atau lambang dan aturan bahasa yang digunakan tetap sama. Suatu pesan seperti “Saya Mau Makan” akan menggunakan lambang dan aturan bahasa yang sama walaupun cara komunikasi itu lisan atau tulisan. Pada anak tunarungu, kita langsung berfikir pada ketakmampuannya untuk berkomunikasi secara lisan. Padahal bicara hanya merupakan salah satu cara komunikasi, maka masalah utama bagi anak tunarungu adalah sebenarnya bukan ketakmampuannya untuk bicara melainkan akibat hal tersebut terhadap perkembangan yaitu  kemampuan berbahasanya ketakmampuan untuk memahami lambang dan aturan bahasa (Greg Leigh dalam sumber yang sama)
Bila demikian halnya, bagaimana proses penguasaan bahasa itu bisa terjadi pada anak secara umum?  atau apa kondisi dan persyaratanya? Berbagai teori telah dikemukakan untukmenerangkan terjadinya proses penguasaan bahasa pada anak. Greg Leigh mengemukakan suatu pandangan yang secara umum dianut masa kini yaitu bahwa proses penguasaan bahasa pada anak terjadi karena ada 2 kondisi yaitu:
Pertama anak perlu memperoleh akses terhadap bahsa dalam jumlah yang besar atau harus “mandi” bahsa. Berdasarkan penelitian ternyata kata yang paling sering didengar anak yaitu kata “mama” biasanya kata pertama yang di dengar atau di produksi,diucapkan oleh anak.
Kedua,anak perlu memperoleh kesempatan untuk berinteraksi secara aktif dalam bahsa tersebut dengan lingkunganya.
Kita semua mengenal cerita tentang “Mowgli” Si Anak Serigala” yaitu anak yang sebenarnya normal dibesarkan di hutan belantara  oleh serigala dan setelah diketemukan dan kembali di dunia beradap ternyata tidak berbahasa dan tidak berbicara karena tidak memperoleh akses terhadap bahsa manusia dan juga tidak mempunyai bahsa untuk berinteraksi dengan manusia dalma bahsa tersebut. Namun pada bayi secra umum dalam kondisi normal, bahasa akan berkembang, karena memiliki cara komunikasi melalui pendengaran dan bicara atau secara aural dan oral.
Bagaimana  dengan anak tunarungu? mereka tidak memilikicara komunikasi yang bisa diandalkan, sehingga tidak memperoleh akses terhadap bahsa dan dan juga tidak mempunyai kesempatan interaksi secara aktif. Untuk kelompok anak tunarungu tertentu, pemakaian alat bantu dengar (ABM) dapat membantu mereka memperolah akses bahasa ditunjang latihan bicara sehingga bisa mengandakan interaksi dan menguasai bahasa.  Namun bagi kelompok untuk tunarungu lain, walaupun sudah memakai ABM akses bahasa yang tersedia masih terlalu sedikit sehingga keterampilan wicara juga kurang berkembang. Maka dasar pemikiran komtal adalah untuk memberi akses bukan hanya secara aural atau oral melainkan juga secara visual yaitu dengan isyarat (Greg Leigh, Leigh dalam  Laporan Hasil Penataran-Lokakarya FNKTRI, 1995). Melalui cara komunikasi ini diharapkan agar anak mampu berbahasa secara baik dan benar, lambang dan aturan bahasa yang ingin dikembangkan tetap sama, hanya kesempatan untuk akses bahasa lebih lengkap. Sasaran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
                              Wicara
Cara komunikasi   Tulisan                 menggunakan lambang dan aturan bahsa yang sama.
                              Isyarat
Dalam bab bab berikut akan menjadi lebih jelas bagaiman komtal menjadi suatu falsafah menghasilkan suatu konsep yang kemudian diterapkan guna mengembangkan bahasa dan dalam kegiatan belajar mengajar.
2.2.3        Landasan Sosial Dan Psikologi
      Dalam kongres internasional tentang pendidikan kaum tunarungu di hamburg (1980) banyak ahli mempertanyakan kebijakan hasil kongresdi milan kurang lebih 100 tahun yang lalu yang memprioritaskan metode oral dalam pendidikan anak tunarungu. Penekanan terhadap kemampuan bicara memang perlu agar anak tunarungu dapat berinteraksi dalam masyarakat orang dengar,tetapi justru dari kelompok mereka yang telah terintregasi inilah sekarang mempertanyakan kemutlakan dari penerapan metode oral (let v.bekkum dkk)1081 mengutip fuechte,1980)penanganan pada anak tunarungu sebaiknya bertitik tolak pada situasi nyata atau dunia si tunarungu itu sendiri dan bukan dari sudut orang yang mendengar. Manusia tuli akan selalu hidup dalam 2 dunia yaitu dunia orang dengar dan dunia orang tuli. Dengan demikian mereka harus berperan ganda dan kita (orang yang mendengar)seyogyanya membantu mereka agar kedua segi kehidupanya dapat berkembang. Disatu pihak, orang mendengar harus  membuka dunianya seluas mungki bagi tunarungu agar mereka dapat menguasai kemampuan bahsa dan bicara, tetapi dipihak lain merekapun mau tak mau harus biarkan hidup dalam dunianya sendiri. Artinya dengan satu dunia dengan cara komunikasi sendiri.
Orang yamg tidak cacat seyogyanya menerima kenyataan bahwa kaum cacat seumumnya tidak pernah akan menjadi normal seratus persen. Berapa persen diantara kaum tunarungu yang akan sampai pada suatu keterampilan bicara sehingga dapat menyembunyikan kecacatan/ bagi kebanyakan diantara mereka hal tersebut tidak akan terjadi sehingga akhirnya terpaksa memilih antara suatu hidup terus menerus berupaya dengan sia-sia agar dapat menjadi orang normal  atau belajar hidup sebaik mungkindengan menerima cacat yang ada. Arti menerima dalam hal ini bukanlah suatu sikap penerimaan yang pasif,pasrah pada nasib tetapi hidup kreatif dimana ketulian hanya merupakan salah satu aspek dari keberadaannya sebagai manusia. Dengan demikian ia tak akan merasakan diri sebagai manusia yang kurang tetapi  berbeda dari amnusia lain, yaitu sebagai manusia yang memiliki penghayatan dunia yang memang berbeda dengan segala akibat yang menyenangkan maupun yang kurang menyenangkan.  Sebagai akibat mereka tak akan merasa malu karena cacat , tetapi akan berusaha memberi isi dan arti terhadap kehidupan(Let v. Bekkum dkk.dengan mengutip krohnert,1980). Dengan bertambahnya mayoritas (orang dengan pendengaran normal)untuk menghargai kekhasan minoritas (kaum tunarungu)  dalam masyarakat, komtal dapat diterima dan berkembang.
2.2.4  Landasan Empiris Komunikasi Total
       Salah satu faktor yang banyak mendukung perkembangan dan keterimaan Komtal adalah hasil penelitian yang meliputi :
·           Penelitian tentang mutu pendidikan anak tunarungu sebagai hasil metode oral.
·           Pengaruh penerapan isyarat terhadap berbagai aspek perkembangan bahasa anak tunarungu dan penyampaian pesan/informasi.
·           Penelitian terhadap bahasa isyarat.
·           Penelitian terhadap fase awal perkembangan bahasa.

a.         Penelitian Mutu Pendidikan Dengan Metode Oral
       Iet v. Bekkum (1981) berdasarkan penelitian berbagai ahli mengemukakan bahwa mutu pendidikan sebagai hasil penerapan metode oral sering tidak memuaskan. Ternyata kemampuan membacanya kebanyakan anak tunarungu setelah mengikuti pendidikan hanya akan mencapai taraf membaca kelas 4 atau 5 (Conrad dari Inggris, 1976), prestasi sekolah pada umumnya ketinggalan daripada anak dengar (Vernon dari Amerika Serikat, 1976) dan kejelasan bicara tidak memuaskan (de Yonge dari negeri Belanda, 1980, Conrad, 1976). Faktor yang menentukan untuk keberhasilan dalam kehidupan sosial dan bekerja di masyarakat adalah kemampuan bahasa dan bicara. Namun ternyata banyak anak tunarungu walaupun sebenarnya cerdas tidak menunjukkan hasil yang sebanding dengan kerja keras dan usaha guru maupun orang tua dalam mendidik mereka.

b.         Penelitian Pengaruh Penerapan Isyarat dan Ejaan Jari
       Iet v. Bekkum dan kawan-kawan (1981), membedakan tiga jenis penelitian dalam bidang ini yaitu :
§   Penelitian yang dirancang dengan cara “ex-post facto”, yaitu membandingkan dan menilai prestasi yang telah dicapai dua kelompok (atau lebih) anak tuli setelah dididik dengan metode komunikasi yang berbeda.
§   Rancangan berupa eksperimen dengan mengadakan penilaian atau tes sebelum dan sesudah suatu program dilaksanakan dalam pendidikan anak.
§   Studi kasus yaitu mengumpulkan data yang sistematis mengenai perkembangan bahasa pada anak-anak tertentu.
Berikut ini akan diuraikan dengan lebih terinci hasil masing-masing penelitian :
1)        Studi Ex-post-facto
                   Jenis riset ini terutama membandingkan prestasi antara anak tuli dan orangtua yang juga tuli yang dididik dengan metode isyarat dngan prestasi anak tuli dari orangtua yang mendengar (normal) dan dididik secara oral.
                   Obyek penelitian adalah pengaruh komunikasi isyarat terhadap berbagai aspek penguasaan bahasa dan mengenai peran isyarat sebagai alat untuk menyampaikan informasi. Penelitian jenis ini antara lain dilakukan oleh Quigley & Frisinai (1961), Stuckless & Birch (1966), Meadow (1968), dan Vernon & Koh (1970-1971).
                   Beberapa kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan penelitian ex-post-facto ini adalah bahwa penggunaan komunikasi isyarat sejak usia dini ternyata :
a)         Tidak merugikan kejelasan bicara, kelompok oral secara tara-rata memiliki kemampuan bicara sedikit lebih jelas daripada kelompok isyarat namun perbedaan tidak signifikan.
b)        Dapat memajukan keterampilan membaca ujaran.
c)         Berpengaruh posotif terhadap perkembangan kemampuan membaca dan menulis.
d)        Tidak berpengaruh negatif terhadap penyesuaian psikososial, malahan kelompok isyarat menunjukkan penyesuaian sedikit lebih baik daripada kelompok oral walaupun tak signifikan.

2)        Studi dengan eksperimen
       Pada studi semacam ini anak dites sebelum dan sesudah mengikuti pendidikan dengan metode komunikasi tertentu. Hasil tes kemudian dibandingkan sehingga dapat ditarik kesimpulan tentang pengaruh metode tertentu.
       Eksperimen yang terkenal adalah yang dilakukan oleh Quigley (1963). Ia membandingkan kemampuan bahasa kelompok anak tuli yang dididik melalui metode Rochester (penggunaan bicara dan ejaan jari secara serempak) dengan kelompok yang dididik dengan metode oral. Tes kemampuan bahasa yang digunakan meliputi tes membaca dan suatu tes keterampilan berbahasa yang terdiri dari lima subtes. Anak dites sebelum mengikuti pendidikan dan selama 4 tahun dites ulang sekali setahun. Quigley mengulang eksperimen ini dengan membandingkan kelompok Rochester dengan kelompok yang dididik melalui metode simultan ( bicara dikombinasikan dengan isyarat). Hasil eksperimen ini juga menunjukkan kelebihan kelompok Rochester di atas kelompok lainnya terutama untuk membaca, menulis, dan berhitung. Untuk kemampuan bicara dan baca ujaran tidak ditemukan perbedaan.

3)        Studi kasus
       Salah satu studi kasus yang banyak dikenal adalah dari Schlesinger & Meadow (1972). Mereka mengumpulkan data perkembangan bahasa dua anak tuli (R dan M). Sejak permulaan mereka dididik dengan komunikasi oral maupun isyarat. Tujuan penelitian :
1.         Mencari kebenaran tentang pendapat bahwa penggunaan serempak antara dua sistem komunikasi akan saling menghambat perkembangan masing-masing, dan
2.         Untuk mengetahui apakah benar bahwa perkembangan bicara anak yang dididik dengan isyarat akan terlambat.

R diteliti sejak usia 2,11 tahun sampai 3,3 tahun dan selama periode ini menunjukkan perkembangan sebagai berikut:
ü  Dalam berkomunikasi R semakin banyak menggunakan keterampilan bicara yaitu dari 10% menjadi 29% dari segala ungkapan.
ü  Penggunaan isyarat untuk berkomunikasi makin berkurang yaitu dari 22% menjadi 4%.
ü  Sedangkan penggunaan isyarat dalam kombinasi dengan bicara dapat dikatakan tetap yaitu sekitar 68% dari segala ungkapan.

M diteliti mulai usia 3,4 sampai 4,8 tahun, dan selama periode ini menunjukkan perkembangan sebagai berikut:
ü  Keterampilan bicara berkembang yaitu dari 12% menjadi 18% dari semua ungkapan.
ü  Penggunaan isyarat berkurang dari 79% menjadi 58%.
ü  Penggunaan isyarat dengan bicara secara serempak bertambah dari 9% menjadi 24%.

       Dari studi kasus ini diperoleh kesimpulan yang menentang pendapat bahwa anak yang dididik dengan dua sistem komunikasi sekaligus tidak akan mengembangkan masing-masing sistem komunikasinya. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa kemampuan bicara pun tak akan dirugikan, dalam kedua kasus penggunaan isyarat berkurang dan penggunaan bicara bertambah.

c.         Penelitian Terhadap Bahasa Isyarat
       Seorang ahli yang banyak mengungkapkan tentang bahasa isyarat ASL ini adalah Stokoe (1960). Berkat penelitiannya, makin diketahui bahwa bahasa yang sebelumnya dipandang “rendah” juga mempunyai sistem walaupun sistem tersebut berbeda dari bahasa lisan masyarakat.
       Ternyata kaum tunarungu di Amerika Serikat dalam menggunakan ASL banyak terpengaruh oleh struktur bahasa masyarakat atau bahasa inggris, sehingga dalam berkomunikasi menggunakan campuran dari isyarat ASL, ejaan jari, dan bahasa Inggris lisan.
       Makin banyak pula usaha untuk menyusun bahasa isyarat yang memiliki struktur yang sama dengan bahasa lisan masyarakat seperti telah mulai dirintis oleh de L’Epee dalam abad ke XVII. Semua ini menunjukkan makin banyaknya perhatian mayoritas terhadap bahasa isyarat kaum tunarungu sebagai salah satu komponen Komtal.

d.         Penelitian Fase Awal Perkembangan Bahasa
       Interaksi ibu dengan anak dengar pada fase awal kehidupan terutama berlangsung secara nonverbal. Bersamaan waktu dengan bentuk komunikasi ini seorang ibu akan menggunakan ungkapan bahasa verbal sehingga lama kelamaan gerakan/isyarat akan diganti dengan kata-kata.
       Pada anak tuli, hal tersebut tentu tidak akan terjadi karena kemampuan pendengaran tidak/kurang ada. Bila ibunya tidak akan mengembangkan suatu sistem komunikasi yang visual dengan anak maka perkembangan bahasa akan terhambat, sebagai akibat perkembangan bicara pun terganggu. Tambahan lagi di satu pihak anak tidak diberi kemungkinan untuk mengungkapkan perasaan serta keinginannya selain dalam bentuk primitif dan di pihak lain ibunya pun akan terhalang dalam menyalurkan kebutuhan akan komunikasi dengan anaknya. Komtal diharapkan akan memberi lebih banyak kemungkinan untuk mengembangkan kemampuan bahasa anak dan kemudian secara tidak langsung kemampuan bicaranya.
       Voltera menganalisa perkembangan gesti dan kosa kata isyarat serta kata pada sejumlah anak dengar dan anak tuli antara usia 1 – 2 tahun (anak tuli dalam studi kasus ini mempunyai orang tua yang juga tuli, yang berisyarat dengan mereka). Analisa tersebut memberi informasi tentang peran masukan kebahasaan dalam fase pra-bahasa mereka.
       Pada hakekatnya anak perlu mengembangkan kemampuan untuk membeda-bedakan berbagai aspek atau bagian dari dunianya yaitu berupa berbagai kegiatan benda, manusia, dan kejadian. Dalam mengadakan komunikasi dengan dunianya, mereka akan menggunakan dua cara yaitu:

Pertama, secara langsung menunjuk pada benda/manusia/kejadian dengan gerak seperti menunjuk, memperlihatkan sesuatu dan memberikan sesuatu. Cara ini dinamakan juga gesti langsung.

Kedua, dengan menggunakan berbagai lambang untuk mewakili hal-hal dalam dunianya baik bersifat vokal maupun gesti. Lambang vokal dalam hal ini adalah kata-kata sedangkan gesti dalam hal ini merupakan gerakan di luar gesti langsung yang telah disebut sebelumnya yaitu gesti yang mewakili berbagai aspek dunianya dan telah disepakati bersama antara anak dan lingkungan berdasarkan interaksi/pengalaman bersama dan biasanya berhubungan dengan pengenal anak terhadap fungsi benda-benda seperti misalnya gesti untuk makan, minum dan sebagainya, juga disebut gesti tak langsung.

Dari penelitian ini terungkap hasil sebagai berikut:
a)         Anak dengar mampu menggunakan lambang, baik yang bersifat vokal (kata) maupun gesti. Dalam melakukan penggabungan mereka mampu menggunakan penggabungan antara dua atau lebih gesti langsung maupun antara gesti langsung dengan lambang (baik berupa gesti tak langsung dan kata). Tetapi mereka tidak akan menggunakan penggabungan antara dua gesti tak langsung melainkan menggabungkan kata dengan kata.
b)        Anak tuli ternyata akan mengikuti perkembangan serupa terutama yang menyangkut kemampuan untuk gesti langsung dan tak langsung. Perbedaan terletak dalam kemampuan penggabungan. Mereka akan sedikit sekali menggunakan penggabungan antara gesti langsung (maupun tak langsung) dengan kata, melainkan akan lebih banyak mengadakan penggabungan antara dua gesti tak langsung.

       Kesimpulan studi ini adalah bahwa kemampuan untuk menggunakan gesti sebagai lambang (gesti tak langsung) maupun penggabungan gesti untuk berkomunikasi tidak tergantung secara langsung dari penyajian kebahasaan, karena tidak terdapat perbedaan antara anak dengar dengan anak tuli dalam kemampuan tersebut. Berbeda dengan kemampuan untuk menggunakan penggabungan lambang-lambang. Anak yang dididik dengan bahasa lisan akan menggunakan penggabungan antara dua lambang vokal (kata) sedangkan anak tuli yang dididik dengan bahasa isyarat akan menggabungkan dua lambang gesti tak langsung.
       Kemampuan penggabungan lambang merupakan pertanda dari tahap awal perkembangan berbahasa sesungguhnya yaitu suatu bahasa yang bersistem.  Secara tidak langsung penelitian ini telah menunjukkan bahwa untuk mengembangkan kemampuan tersebut bersyaratkan adanya penyajian kebahasaan. Sedangkan mengenai media bisa bahasa lisan maupun isyarat. Atau dapat dikatakan bila anak tuli tidak dikenalkan dengan bahasa isyarat atau sistem komunikasi visual, kemampuan bahasa tidak berkembang.
       Berdasarkan faktor-faktor yang telah diuraikan sebelumnya timbullah pandangan yang menganjurkan penggunaan penggabungan media oral dan isyarat dalam mendidik anak tuli yang kemudian dikenal sebagai Komunikasi Total.
2.3  Manfaat Komunikasi Total
Komtal telah di terapkan secara makin meluas di Amerika Serikat, Australia dan berbagai negara di eropa selama dua puluh tahun belakangan ini. Sekarang perlu di pertanyakan hasil apa yang dicapai dalam pendidikan anak tunarungu dengan menerapkan komtal. Menurut M. Hyde dalam Munas IV & Lokakarya FNKTRI, 1991 & Penlok PNKTRI 1994 hasil yang telah dicapai sebagai berikut :
Pertama, dalam bidang perkembangan sosial – emosional telah di peroleh cukup banyak data bahwa sebagian besar kaum tunarungu akan menjadi lebih baik dalam aspek tersebut. Dari literature dapat diketahui bahwa kematangan sosial, penyesuaian diri dan konsep diri kaum tunarungu pada umumnya mengalami gangguan. Keadaan itu terutama di sebabkan oleh kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi. Dengan menerapkan komtal, kekurangan itu akan lebih mudah di atasai dan secara tak langsung memperbaiki perkembangan sosial-emosional mereka.
Kedua, dalam bidang penguasaan bahasa, ternyata bahwa dengan mengikuti program komtal lebih banyak siswa tunarungu berhasil mencapai prestasi pada taraf rata – rata dibandingkan keadaan sebelumnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa malalui penerapan komtal yang baik dengan sistem isyarat (bukan bahasa isyarat), anak tunarungu telah diberi kesempatan guna memperoleh akses penuh terhadap bahasa sehingga memiliki kemungkinan lebih besar untuk menguasai aturan lisan bahasa lisan masyarakat. Salah satu studi mengungkapkan bahwa spek bahasa yang tetap merupakan kesulitan bagi mereka berhubungan dengan slah satu aturan bahasa inggris yaitu tentang perubahan pada bentuk kata kerja guna menyatakan masa lampau. Namun mereka berhasil mencapai prestasi rata – rata  untuk penguasaan jumlah kosakata, susunan kata dalam kalimat, dan kemampuan menyusun kalimat kompleks.
Ketiga, mengenai tingkat pendidikan yang bisa dicapai, ternyata makin banyak siswa dapat menmatkan pendidikan pada tingkat lanjutan dan meneruskan perguruan tinggi di Australia dan Amerika Serikat. Namun M. Hyde juga mengingatkan bahwa hasil yang dicapai itu bukan semata – mata diakibatkan karena penerapan komtal melainkan merupakan gabungan dari beberapa faktor lain seperti tersediannya alat bantu mendengar yang semakin canggih secara cuma -cuma dan peningkatan kondisi negara secara keseluruhan. Sejalan dengan uraian di atas, L. Evans (1982) mengemukakan bahwa dengan makin berkembangnya penerapan komtal di Amerika Serikat, kaum tunarungu makin memperoleh posisi sebagai tenaga professional dalam dunia pendidikan. Yaitu makin banyak tunarungu yang di angkat menjadi guru di SLB-B. namun dari mereka tentu juga di tuntut agar mampu berfungsi sesuai dengan konsep komtal yaitu memiliki kemampuan bahasa inggris yang baik dan benar.
2.4 Komponen Komunikasi Total
Dalam komtal tidak berbeda dengan cara komunikasi lain, dapat di bedakan antar bentuk komunikasi ekspresif (pengiriman pesan) dan bentuk komunikasi reseptif (penerimaan pesan). Komponen komunikasi ekspresif meliputi bicara, berisyarat dan ejaan jari, menulis serta (panto) mimic. Sedangkan komponen komunikasi reseptif meliputi antara lain baca ujaran, “membaca” ejaan jari, isyarat serta mimic, pemanfaatn sisa pendengaran dengan bantuan alat dan membaca. Perbedaan bentuk komunikasi reseptif dan ekspresif anak tunarungu dalam komtal di bandingkan dengan komunikasi anak yang berpendengaran normal adalah penambahan isyarat dan ejaan jari secara ekspresif maupun reseptif. Bentuk komunikasi dapat digambarkan dengan bagan berikut :
Komponen komtal dapat pula di tinjau dari kode yang digunakan untuk berkomunikasi yaitu sebagai penggabungan dari kodr verbal dan non – verbal :






Ejaan jari di golongkan sebagai kode verbal karena terdiri dari unsur/gerak yang mewakili huruf dari abjad (Van Uden, 1979). Di samping ke dua tinjauan di atas , komponen komtal dapat pula di pandang sebagai gabungan antara tiga cara yaitu media komunikasi yang meliputi oral, aural, dan manual, dan dapat digambarkan dengan bagan berikut :









Uraian singkat tentang ketiga komponen atau media tersebut adalah sebagai berikut :
1)      Komponen Oral
a)      Bicara
Semua anak tunarungu perlu diberi kesempatan guna mengembangkan ketrampilan bicara. Dalam program komtalpun, kita perlu berbicara dengan mereka dan menyediakan waktu khusus untuk latiha bicara. Banyak guru mempunyai anggapan bahwa bila sudah menerapkan komtal dan mereka mengjar dengan isyarat sambil berbicara, siswa dengan sendiri akan mampu baca ujaran dan bicara. Hal itu tidak benar dan tidak terjadi (M. Hyde,dalam hasil PenlokFNKTRI,1991,1993). Maka latihan bicara tetap perlu dilakukan secara intensif. Selanjutnya hasil latihan pada anak tunarungu tentu banyak tergantung dari tingkat kehilangan pendengaran yang di derita. Faktor lain yang juga sangat mempengaruhi adalah sikap dan keahlian guru.
Mengenai seluk-beluk pelaksanaan bina bicara pada anak tunarungu dapat dipelajari pada buku ajar khusus tentang bidang tersebut. Disini hanya akan diuraikan beberapa patokan umum yang perlu diingat tenaga pendidik mengenai pembinaan bicara yaitu :
Pertama, diatas telah dikemukakan bahwa ketrampilan bicara anak sebenarnya menggambarkan tingkat ketunarunguannya atau daya dengar untuk konsonan dan vocal. Maka menurut pandangan Des Power ketrampilan bicara anak tunarungu yang kurang baik atau pelafalan yang salah, sebenarnya tidak bisa di samakan dengan kesalahan yang dibuat dalam soal matematika misalnya, melainkan perlu ditinjau dari apa yang masih mampu di dengar anak. Pandangan seperti ini, tentu akan mempengaruhi sikap guru dalam membina anak. Sejalan dengan pandangan ini istilah perbaikan bicara (speech correction) atau terapi bicara (speech therapy) menjadi kurang tepat dan istilah speech development atau pengembangan bicara lebih baik. Maka dalam melatih anak, guru perlu menggunakan suatu pendekatan yang diwarnai kerangka berpikir yang berbeda daripada sekedar membetulkan tulisan atau jawaban soal hitungan yang salah, yaitu pendekatan yang mengutamakan terjadinya pengembangan ketrampilan anak (developmental approach).
Kedua, usaha pengembangan bicara sebagai salah ssatu aspek dari pengembangan kemampuan berkomunikasi perlu dikaitkan dengan perolehan makna atau pengertian. Artinya anak pada awal jangan terlalu cepat dituntut untuk bisa bicara sebelum penguasaan bahasa reseptif berkembang. Hal itu juga tidak terjadi dalam perkembangan bahasa anak dengan pendengaran normal. Seperti dapat dikutip dari E.C. Glendenning (1977) : “masukan bahasa yang banyak merupakan suatu kebutuhan sebelum anak dapat menggunakan aspek ekspresif bahasa yaitu bicara”.
Dalam program oral, bahasa reseptif atau kemampuan untuk memahami bahasa lingkungan berkembang terutama melalui pengamatan terhadap gerak bibir sebagai lambang visual dalam situasi atau pengalaman komunikasi (Myklebust 1963). Dengan komtal hal itu akan mendapat lebih banyak kemudahan melalui pengamatan gerak isyarat. Secara praktis dapat dikatakan bahwa dalam membina bicara anak, jangan dilatih melafalkan kata yang berasal dari sembarang daftar kata, melainkan perlu berasal dari kata yang sudah dikenal dan dipahami melalui situasi komunikasi.
Ketiga, seorang guru anak tunarungu perlu mengenal dan menghafal semua istilah bagian organ bicara dan proses terjadinya bicara. Hal ini akan membantu guru dalam membina anak dan mempermudah diskusi dengan sesame teman sejawat mengenai masalah bina bicara (M. Hyde, dalam Hasil Penlok FNKTRI, 1993)
Keempat, seorang guru perlu menguasai bagan bunyi bahasa yang ada dalam bahasa indonesia. Dengan demikian guru akan trampil membina anak karena menguasai ciri-ciri segmental tiap bunyi bahasa, sehingga adalam pembentukan mengetahui bunyi mana menggetarkan pita suara, bagaimana cara memproduksi / mengartikulasi, dan dimana tempat pembentukan / daerah artikulasinya.
Menurut tata bahasa Indonesia yang berlaku kini, dalam bahasa Indonesia terdapat 32 bunyi bahasa.bandingkan dengan Bahasa Inggris yang memiliki 43 bunyi bahasa. Keuntungan lain dari bahasa Indonesia untuk anak Tunarung adalah bahasa yang diucapkan sama dengan yang ditulis, berbeda dengan bahasa Inggris (M. Hyde, dalam hasil penlok FNKTRI, 1993). Selanjutnya bukan hanya aspek segmental bunyi bahasa yang perlu diajarkan melainkan juga aspek suprasegmental yaitu berupa intonasi, tekanan, dan tempo bicara. Menurut Des Power (dalam buku yang sama), aspek terakhir ini bahkan perlu didahulukan. Maksudnya latihan artikulasi vokal dan konsonan perlu di tunda sampai aspek suprasegmental berkembang antara lain melalui kegiatan mencari. Tokoh yang sama mengemukakan bahwa dengan bekal intonasi dan suara yang baik, kualitas pelafalan unsure segmental akan lebih baik pula.
Kelima, bila anak memakai Alat Bantu Mendengar (ABM) kita perlu meneliti pengaruh ketunarunguan anak (setelah memakai ABM) terhadap ketrampilan menyimak bunyi bahasa. Dengan demikian guru akan mengetahui bunyi bahasa mana masih bisa dibentuk melalui pendengaran anak dan mana perlu dilakukan melalui penglihatan/perabaan/kinstetik.
Keenam, bagi anak tunarungu yang sudah besar belum cukup bila mereka hanya dapat bicara dengan baik, melainkan guru perlu menuntun mereka agar mempunyai gambaran atau kesadaran tentang ketrampilan bicaranya. Hanya dengan demikian akan dikembangkan control dari pada anak (A. Van Uden, 1980, Des Power, 1993)
b)      Membaca Ujaran
Selain istilah membaca bibir yang mencangkup pengamatan visual dari bentuk dan gerak bibir lawan bicara, juga dikenal istilah membaca ujaran (speech reading). Yang terakhir ini merupakan kegiatan yang mencangkup lebih dari sekedar pengamatan gerak bibir yaitu melibatkan pengamatan atas bahasa tubuh, ekspresi, dan konteks secara keseluruhan dimana komunikasi ini berlangsung.
Menurut M. Hyde dalam Penlok FNKTRI, 1993, berdasarkan penelitian untuk bahasa Inggris, hanya kurang lebih 25% dari ujaran seseorang dapat “dibaca” namun seorang pembaca ujaran yang terampil masih mampu menangkap sekitar 70-80% dari ujaran lawan bicara. Hal ini disebabkan karena adanya kompensasi dari pengetahuan bahasa yang telah dimiliki serta pengetahuan tentang pokok pembicaraan. Agar seseorang terampil dalam membaca ujaran, syarat utama adalah telah dimilikinya suatu taraf penguasaan bahasa tertentu.
Beberapa penelitian oleh beberapa ahli telah menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara taraf inteligensi dan kemampuan membaca ujaran. Walaupun hasil penelitian mengenai hal tersebut bertentangan satu sama lain tetapi secara garis besar dapat disimpulakan bahwa taraf inteligensi secara tidak langsung mempunyai korelasi positif dengan kemampuan membaca ujran, terutama karena taraf inteligensi yang tinggi menunjang taraf penguasaan bahasa seseorang. Korelasi yang langsung antara kemampuan membaca ujaran seseorang dengan kemampuan bahasa telah dibuktikan pula oleh Evans (1978) dalam suatu penelitian diman ia membandingkan hasil tes kemampuan ujaran anak tuli dengan hasil tes kemampuan membaca. Dari sumber yang sama diketahui juga bahwa berdasarkan penelitian di Inggris tidak ditemukan korelasi antara keterampilan baca ujaran dan ketajaman penglihatannamun ada kaitan dengan daya ingat visual untuk bentuk-bentuk yang non-verbal.
Suatu pandangan yang menarik dikemukakan oleh Van Uden (1968) yang menggolongkan kemampuan baca ujaran sebagi suatu kegiatan yang bersifat visual motorik. Secara lazim seseorang tidak akan mengamati gerak tangan atau koordinasi mata tangan. Namun untuk anak tuli koordinasi mata bibir perlu dikembangkan, agar kemampuan membaca ujaran tumbauh. Caranya adalah dengan menggunakan cermin sewaktu latiha bicara; dengan ini anak akan dibiasakan untuk mengamati gerak bibir sendiri sewaktu bicara sebagai permainan untuk membaca bibir orang lain. Berdasarkan pengelaman dalam mengamati gerak bibir sendiri anak belajar untuk mencari gerakan itu pada lawan bicara sehingga akan lebih terampil membaca ujaran.
Akhir kata dapat dikemukakan bahwa kegiatan membaca ujaran dengan segala kelemahan yang ada tetap merupakan suatu sarana yang sangat berharga dan dalam bidang komtal tak boleh dilupakan. Asal beberpa persyaratan dipenuhi seperti adanya ketrampilan berbahasa tertentu, pengetahuan tentang topic yang dibicarakan dan permasalahn teknik lain seperti selalu bertatapan muka dan pada jarak yang tak terlalu jauh dari lawan bicara, penerangan yang cukup dan sebagainya (M. Hyde, dalam buku Penlok FNKTRI, 1993)
2. Komponen Aural
Dalam program komtal yang baik, penggunaan Alat Bantu Mendengar (ABM) baik untuk perseorangan maupun kelompok tetap memegang peran yang penting (I Van Bekkum dkk, 1981).
Sisa pendengaran yang memiliki anak tunarungu, betapa sedikitpun perlu difungsikan  guna meningkatkan kemampuan komunikasi mereka. Pemanfaatan sisa pendengaran meliputi kegiatan pembinaan secara audiologik yaitu pemilihan sreta penyesuaian Alat Bantu Mendengar (ABM) yang sesuai bagi anak berikut perawatannya dan kegiatan pembinaan audiotorik yaitu berupa latihan pendengaran atau pembinan persepsi bunyi, dan irama.
Mengenai seluk-beluk pembinaan persepsi bunyi dan irama dapat dipelajari pada buku ajar yang berjudul : Bina Bicara Persepsi Bunyi dan Irama.
3. Komponen Manual
Menegenai komponen dan jenis komponen manual yang ada dalam pendidikan untuk tunarungu telah diuraikan secara lengkap dalam Bab I. disini penulis ingin menegaskan kembali apa yang diuraikan oleh S.P.Quigley dan R.E. Kretschmer (1982) tentang penerapan komtal waktu mulai diperkenalkan di Amerika Serikat. Waktu itu Denton (1970) mengemukakan pengertian komtal sebagai “ hak anak tuli untuk mempelajari semua bentuk komunikasi yang tersedia guna mengembangkan kemampuan bahasa”
Sebagai akibat, banyak SLB-B mulai menerapkan berbagai bentuk komunikasi isyarat dalam kombinasi dengan komponen oral dan menganggap hal itu sebagai komtal. Namun kedua tokoh tersebut menegaskan bahwa berdasarkan penelitian jensema dan Trybus (1978) keadaan di banyak SLB-B waktu itu lebih tepat dinamakan sebagai “Total Confusion” dan bukan Total Comunication atau komunikasi yang membingungkan dan bukan komunikasi yang lengkap dan total. Mereka kemukakan hal itu karena tidak adanya keajegan dalam bentuk komunikasi/isyarat yang digunakan di satu sekolah maupun diantara kelas, asrama, dan keluarga anak. Padahal keajegan dalam bentuk masukan bahasa bagi setiap anak (tunarungu maupun yang berpendengaran normal) merupakan persyaratan utama dalam mengembangkan kemampuan berbahasa mereka. Selanjutnya kedua tokoh yang disebut pertama mengemukakan  bahwa sampai saat ini belum ada bukti tentang keunggulan salah satu bentuk komunikasi dalam pendidikan tunarungu. Namun di Amerika Serikat, bentuk komunikasi manual yang terbukti lestari dan tahan uji adalah: American Sign Language (Bahasa Isyarat Amerika/ASL) dan Manual English atau Sistem Isyarat Bahasa Inggris. Penerapan Sitem Isyarat sejak usia dini telah terbukti berguna dalam mengahasilkan kemampuan berbahasa dan perkembangan pendidikan yang lebih baik daripada penerapan ASL (Basel dan Quigly, 1977).








BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Dengan menghimpun pendapat berbagai ahli ini secara garis besar dapat hakekat komtal adalah :
1.      Pengakuan atas hak kaum tunarungu untuk mendapat komtal sepenuhnya dengan sesama manusia sehingga memperoleh pemahaman yang lebih lengkap tentang dunia.
2.      Penggunaan berbagai cara komunikasi aural, oral, dan manual yang dapat di pilih sesuai kebutuhan serta kemampuan perseorangan
3.      Suatu falsafah komunikasi dan bukan metode pengajaran.
Landasan komtal dipandang dari segi falsafah komunkasi dalam pendidikan anak tunarungu sebagaimana berkembang di amerika serikat.
1.      Landasan filosofis komunikasi total
2.      Landasan konseptual komunikasi Total
3.      Landasan sosial dan psikologi
4.      Landasan Empiris Komunikasi Total
Menurut M. Hyde dalam Munas IV & Lokakarya FNKTRI, 1991 & Penlok PNKTRI 1994 hasil yang telah dicapai dalam pendidikan anak tunarungu dengan menerapkan komtal sebagai berikut :
Pertama, dalam bidang perkembangan sosial – emosional telah di peroleh cukup banyak data bahwa sebagian besar kaum tunarungu akan menjadi lebih baik dalam aspek tersebut. Kedua, dalam bidang penguasaan bahasa, ternyata bahwa dengan mengikuti program komtal lebih banyak siswa tunarungu berhasil mencapai prestasi pada taraf rata – rata dibandingkan keadaan sebelumnya. Ketiga, mengenai tingkat pendidikan yang bisa dicapai, ternyata makin banyak siswa dapat menmatkan pendidikan pada tingkat lanjutan dan meneruskan perguruan tinggi di Australia dan Amerika Serikat. Komponen Komunikasi Total :
1.      Komponen Oral :                    2.  Komponen Aural   3. Komponen Manual
-          Bicara
-          Membaca Ujaran
DAFTAR RUJUKAN
Bunawan, Lani. 1997. Komunikasi Total. Jakarta : Depaertemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik