Senin, 15 Juni 2015

LANDASAN PSIKOLINGUISTIK METODE MATERNAL REFLEKTIF



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Makalah  ini membahas tentang psikolinguistik landasan pengajaran bahasa bagi anak Tunarungu yang diilhami tulisan A. Van Uden berjudul A Model Of Teaching A Mother Tongue to Pre-Lingually Deaf Children, Based on Psycholinguistic Principles (Suatu Model Penguasaan Bahasa Ibu Tuli Pra- Bahasa, Berdasarkan Prinsip Psikolinguistik) yang terdapat dalam buku yang dikarang oleh tokoh tersebut berjudul A Word Of Language For Deaf Children, Part I; Basic Principles, A Maternal Reflective Method).
Bagi para pendidik yang ingin mempelajari MMR, merupakan suatu keharusan untuk mempelajari dan memahami landasan yang digunakan A. Van Uden sebagai pencipta Metode Maternal Reflektif. Tokoh tersebut bertolak dari ilmu psikolinguistik atau psikologi bahasa, suatu ilmu yang mempelajari hukum – hukum yang melandasi perilaku berbahasa seseorang, yaitu bagaimana proses – proses mental seseorang sehingga memperoleh bahasa dan menggunakan bahasa (Slobin, 1974). Berbeda dari ilmu linguistik yang mempelajari hukum/ aturan system bahasa itu sendiri.
Pada awal bab ini perlu diraikan terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud Van Uden dengan bahasa ibu atau mengapa metodenya memakai maternal. Kemudian menyusul uraian bagaimana proses penguasaan bahasa ibu itu berlangsung pada anak mendengar melalui tiga tahapan, yaitu perilaku lahiriah, proses kognitif sebagai perantara, dan peran membaca serta menulis dalam perkembangan bahasa yang normal. Bagian pertama akan disusul dengan uraian tentang bagaimana A. Van Uden berdasarkan model tersebut mengembangkan suatu didaktik untuk mengajar bahasa ibu pada anak tuli dengan tekanan berlangsungnya percakapan, pemahaman bahasa secara fleksibel/luwes (termasuk belajar membaca) dan menuntut anak agar menemukan sendiri aturan / hukum bahasa.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Bahasa Ibu ?
2.      Bagaimana proses penguasaan Bahasa Ibu Pada Anak Mendengar ?
3.      Bagaimana Ikhtisar Perkembangan Bahasa Pada Anak Mendengar ?
4.      Bagaimana Model Bahasa Anak Dengar Untuk Didaktik Anak Tunarungu ?

1.3  Tujuan
1.      Untuk Mengetahui  pengertian dari Bahasa Ibu.
2.      Untuk Mengetahui proses penguasaan Bahasa Ibu Pada Anak Mendengar.
3.      Untuk Mengetahui Ikhtisar Perkembangan Bahasa Pada Anak Mendengar.
4.      Untuk Mengetahui Model Bahasa Anak Dengar Untuk Didaktik Anak Tunarungu.



















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN BAHASA IBU
A Van Uden membedakan 3 arti atau situasi diamana istilah bahasa ibu dapat digunakan. Situasi pertama adalah bahasa ibu dalam arti sempit yaitu menunjuk pada bahasa pertama/asli yang dikuasai/dipelajari seseorang secara informal pada mas kanak – kanak dan lazimnya terjadi atas peran ibunya dan anggota keluarga lainya. Penguasaan bahasa ibu ditandai oleh suatu otomatisasi, bukan hanya dalam memproduksi kalimat atau pengutaraan diri dalam bahasa tersebut, melainkan pula dan mugkin ini merupakan hal terpenting menurut Van Uden, pemahaman atas kalimat atau ungkapan dalam bahasa itu. Pemahaman secara langsung ini berlaku baik melalui pendengaran (menyimak) maupun membaca, dan bagi anak tuli yang dididik secara oral melaui membaca ujaran. Bila kita mempelajari bahasa kedua setelah penguasaan bahasa ibu maka pemahan itu terjadi secara tak langsung, yaitu sedikit banyak melalui terjemahan dari bahasa ibu. Demikian sebaliknya terjadi bila seseorang perlu mengutarakan diri dalam bahasa itu (ingat bila seorang penutut\r bahasa Indonesia akn berbahasa Inggris). Sudah jelas bahwa keadaan ini akan sedikit banyak menghambat kelancaran dalam bercakap bila penguasaan bahasa kedua tidak atau belum mencapai suatu otomatisasi.
Situasi kedua digunakanya setelah bahasa ibu adalh untuk menunjukkan pada bahasa kedua yang dipelajari seseorang terutama secara formal pada awal merupakan suatu bahasa asing namun setelah beberapa waktu mencapai otomatisasi sehingga dapat melangsungkan percakapan secara cukup lancar dalam bahasa asing itu. Keadaan ini dapat dinamakan bahasa ibu dalam arti luas dan dalam era globalisasi dewasa ini bukan hal yang aneh.
Situasi ketiga adalah bila seseorang belajar menguasai bahasa pertama yang kemudian dapat digunakan secara langsung dan cukup mencapai suatu otomatisasi, walaupun dipelajari dengan cara yang lebih formal diandingkan dengan belajar bahasa ibu pada situasi pertama. Maka masalah pokok yang dibahas dalam bab ini dan bab – bab berikutnya adalah member jawaban atas pertanyaan, “Apakah denga mempelajari psikolinguistik kita akan menemukan prinsip – prinsip yang kemudian dapat membantu para pendidik mengajar anak tuli menguasai suatu bahasa yang mencapai suatu otomatisasi sehingga dapat dinamakan bahasa ibu ?” A. Van Uden memiliki keyakinan penuh tentang ini yaitu penguasaan suatu bahasa ibu bagi anak tuli sebagi abhasa pertama walaupun dipelajari dengan cara yang tidak se-informal penguasaan bahas ibu dalam arti pertama melainakan seprti bahasa ibu dalam arti ketiga.
2.2  PROSES PENGUASAAN BAHASA IBU PADA ANAK MENDENGAR
Dalam proses penguasaan bahasa ibu pada anak mendengar dapat dibedakan tiga pokok yaitu:
2.2.1        Perilaku Lahiriah
a.       Kemampuan meraban dan menyimak suara
      Seorang bayi akan secara alami mengalami perkembangan meraban atau mengoceh serta memperhatikan semua vokalisasi disekitarnya. Karena dorongan meniru/imitasi, maka kemampuan meraban berkembangsemakin jelas dan meluas menjadi kosa kata aktifdan perhatian untuk kata dan kalimat menghasilkan bahasa pasif. Hal ini terjadi karena beberapa vokalisasi memperoleh nilai instrumental atau menjadi sarana pemuasan kebutuhaya. Contohnya :
Suara ocehan “mamama” (yang terjadi secara kebetulan) ditanggapi oleh ibu dengan belaian dan ungkapan, “Ya, ini mama saying”. Anak akan senang dengan tanggapan tersebut, lalu akan mengulang kembali vokalisasi itu dan akhirnya menggunakanya dalam situasi  tertentu sebagai tanda suatu kebutuhan.
Sebaliknya, kata “susu” yang dipakai ibu dalam beberapa situasi, lama kelmaan dikenal anak sebagai tanda bahwa ia akan mendapat makanan, digendong, dan sebagainya. Suara ocehan (mamama) dan suara yang disimak (susu) telah menjadi alat atau instrument atau sarana pemuasan kebutuhanya.
Dapat disimpulkan bahwa kedua kemampuan itu (mengoceh dan menyimak) berkembang menjadi bahasa aktif dan bahasa pasif melalui proses pembiasaan atau conditioning (klasik maupun operant) serta pengaruh atau tanggapan lingkungan menyambung pada dorongan meniru yang dimiliki anak.
b.      Bahasa pasif (pemahaman bahasa lingkungan) lebih cepat berkembang daripada bahasa aktif, hal ini disebabkan karena :
*      Perhatian anak yang tertuju pada kode maupun pada situasinya (termasuk orang – orang) dan keduanya terintegrasi secara sempurna menjadi satu kesatuan. Latihan formal terhadap bentuk kode itu sendiri terslepas dari situasi atau artinya jarang terjadi. Maka hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut; lambang – lambang bahasa itu bersifat transparan, yaitu secara langsung menunjuk ke artinya dalam satu kesatuan. Lambang – lambang bahasa biasanya baru mendapat perhatian bila seorang menemukan kata yang belum dikenal, atau terjadi salah ucap atau tulis sehingga tidak segera/ langsung menunjuk pada artinya.
*      Anak mengenal kembali vokalisasi lingkungan secara fleksibel dalam aneka ragam kombinasi (dengan kata – kata lain) yang semakin kaya. Kombinasi itu terjadi dalam kompleks linguistic maupun ekstralinguistik. Misalnya kata “baju” mungkin diperoleh dalam konteks kebahasaan seperti “baju merah, pakai baju, beli baju, baju bagus, baju baru, cuci baju” dan sebagainya. Sedangkan dalam konteks ekstralinguistik berupa nada dan lagu yang menyertai ungkapan kata / kelompok kata/ kalimat sehingga dapat membawa suatu suasana hati, perasaan sengang atau tidak senang dan sebagainya pada anak. Kemungkinan kombinasi yang beragam ini menjadi dasar pengembangan perilaku kreatif.
c.       Bahasa aktif dan bahasa pasif bertemu terutama dalam percakapan antara ibu dengan anak (dan orang lain).
Semula percakapan terkait dengan kegiatan melakukan sesuatu bersama; anak selau diajak bicara sewaktu dirawat ibunya, demikian juga sewaktu bermain bersama. Melakukan kegiatan dan bermain bersama merupakan landasan guna berlangsungnya percakapan. Tanpa itu, percakapan akan terhambat dan oleh karenanya juga seluruh proses pemerolehan bahasa (language acquisition).
      Ciri kedua dalam melaksanakan percakapan ini adalah bahwa seorang ibu memakai metode yang menarik yang terjadi secara naluriah yaitu apa yang dinamakn Van Uden (1955-1965) metode tangkap (Seizing Method) dan memainkan suatu peran ganda. Sang ibu menangkap dan kemudian menaggapai apa yang diungkapkan anak melalui tingkah lakunya yang belum berbahasa. Perhatikan contoh dibawah ini.
Conroh 1 :
Anak
Ibu
“mum …mum” (dengan nada yang menyatakan permintaan)
“Oh, Andi mau minum? Itu untuk papa saying, ini susu Andi.”
      Di sini terlihat bahwa ibu mengangkap apa yang di ungkapkan oleh anaknya dengan cara yang masih sangat sederhana, berupa bunyi bahasa dengan nada tertentu (mum…mum) serta membahasakanya secar tepat (Oh, Andi mau minum?). sekaligus ia berperan ganda dengan memberikan sumbangan sendiri dalam percakapan yang dapat dimengerti anak dalam situasi “itu untuk papa saying. Ini susu Andi.”
      Karena situasi itu berlangsung terus menerus setiap hari. Maka makin lama anak mengerti secara umum dan intuitif apa yang dikatakan ibunya. Perlu diperhatikan bahwa sumbangan ibu untuk percakapan tidak kalah pentingnya dengan penafsiran ibu atas tingkah laku anak, sebab tanpa sumbangan ibu tidak akan terjadi suatu percakapan.
Melaui metode tangkap dan peran ganda ini, sedikit demi sedikit ibu sampai pada suatu percakapan yang sepihak dengan anaknya yang belum berbahasa. Namun perkembangan berlangsung terus seperti dapat disimak dari contoh – contoh berikut ini
Contoh 2:
Setahun berselang pada ank usia 2;3 tahun terjadi percakapan dalam situasi dimana ibu sedang mempersiapkan air jeruk untuk ayah yang sebentar lagi akan pulang.
Anak
Ibu
“Mm…enak”
“Ya, enak air jeruk untu papa”
“Enak papa”
“Ya, ini eank, kita bikin untuk papa, ya!”
“Papa ail jeluk”
“Air jeruk untuk papa” (diucapkan dengan lagu dan suara yang jelas)
“Ail Jeluk”
“Ya air jeruk. Anak mama pinter bicara. Nanti bilang sama papa, ya.”
“Papa…oto”
“Papa naik bis”
“Tia oton”
“Tidak, motor papa rusak.”
 Sebulan kemudian terjadi percakapan sebagai berikut :
Anak
Ibu
“Iyy atut”’
“Takut apa saying? Oh. . . tikus!”
“Ada besa ada, tikus kecil”
“Oh yang besar tadi induk tikus, ini yang kecil anaknya”
“Ma. . . titut atut kucing”
“Ya, tikus takut pada kucing”
:Hus kucing ti boeh”
“Hus kucing nakal, itu tidak boleh”
“Kucing gigit titut”
“Kasihan. . . tikus itu dimakan kucing”
Dari contoh – contoh diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
*      Mula – mula anak hampir selalu memakai kata – kata baku, setiap kali kata – kata tersebut dilengkapi oleh ibunya bukan hanya dengan kata baku yang masih kurang, melainkan pula dan terutama dengan kata tugas yang pendek.
Contoh :
Anak
Ibu
“Enak”
“Ini enak”
“Enak papa”
“Ya, ini enak untuk papa”
“Ail jeluk”
“Air jeruk”
“Titut besa”
“Tikus besar (induk tikus)”
“titut. . . gigit”
“Kasihan tikus itu”
Tia. . . boeh”
“Itu tidak boleh”
Sekaligus ibu memperpanjang ujaran si anak dan dengan demikian melatih daya ingat jangka pendek yang dalam hal ini bersifat suksesif.
*      Dalam percakapan antara ibu dan anak terdapat apa yang dinamakan gejala transformasi. Menurt teori transformasi, susunan kalimat yang paling sederhana adalah kalimat induk berupa pernyataan positif dan aktif. Semua susuna lainya seperti bentuk pasif, kalimat negative dan anak kalimat dianggap sebagai transformasi dari susunan yang lebih sederhana itu dan terletak dalam lapisan psikis yang lebih dalam. Transformasi itu akan muncul dalam pikiran anak sewaktu membentuk kalimat yang ditransformasikan bertolak pada kalimat yang sederhana itu. Tetapi teori ini tidak memperhatikan bahwa dalam contoh percakapan sebelumnya, sejak dini sudah terjadi transformasi dalam struktur permukaan. Sering sang ibu mengulang sebuah kalimat pernyataan dari ank dalam bentuk tanya, pasif, dan sebagainya.
Contoh :
Anak
Ibu
“Mm….enak” (bentuk seru)
“Ya, ini enak” (bentuk pernyataan)
“Papa…oton?” (bentuk tanya)
“Tidak, papa naik bis” (pernyataan ingkar)
Jadi tidak dapat dikatakan bahwa kalimat pernyataan yang positif, aktif merupakan kalimat yang paling pertama dan kerap terjadi dalam percakapan antara ibu dan anak.
Isi percakapan dan sifat transparanya lambang – lambang bahasa tetap merupakan perangsang terkuat bagi perkembangan proses mental serta bentuk ungkapan, namun bentuk gramatikal pun tetap memgang peran penting. Percakapan seakan – akan merupakan gelanggang untuk bermain bahasa, anak belajar bahassa ibu dengan mencoba – coba mencocokan secara terus – menerus dengan penunjang dan pembetulan dari ibu.
2.2.2        Proses Kognitif/Perantara
Beberapa proses kognitif yang merupakan proses antara dalam penguasaan bahasa ini menurut Van Uden adalah “
a)      Fungsi daya ingatan, baik daya ingatan jangka pendek (IJPD) maupun daya ingatan jangka panjang (IJPj). Sorang anak menggunakan IJPD-nya menirukan ibu, seperti dalam contoh sebelumnya “Ail jeluk”
Peniruan ini bersifat ritmis dan melodis. Contoh berasal dari anak usia 2;1 tahun.
Ibu
Anak
“Itu paman Diro!”
“Paman….Io” Paman . . .Io!”
Setelah selang waktu 1,5 jam, paman itu kembali kerumah anak itu. Kedatanganya disambut dengan ujaran, “Paman. . .Io!” dengan lagu dan mimik yang sama seperti pertamakali. Jelas bahwa ia telah menyimpan ingatan tentang nama iti dalam IJPj-nya. Sudah jelas bahwa fungsi daya ingat sangat mendasar, khususnya untuk perilakun yang terjadi secara berurutan atu suksesif. Panjang serta struktur kalimat tergantung pada daya ingatan, baik untuk pemahaman maupun pengungkapanya. Jika daya ingatan anak sempit (untuk IJPd-nya) maka pada akhir kalimat sudah lupa permulaanya. Dengan sendirinya hal ini dapat mengakibatkan kesalahan dalam tata bahasa maupun pengertian. Ujaran setiap anak dibatasi oleh IJPd IJPj- nya. Dalam hal ini itulah yang selalu merangsang fungsi daya ingatan ini dengan mengganti dan menambah ujaran anaknya yang terlalu pendek sehingga mengangkatnya ke taraf fungsi daya ingatan yang lebih tinggi. Namun dalam menangkap ujaran lingkungan yang biasanya lebih panjang,  anak melatih diri sendiri untuk mencari ujung pangkal serta arti dari seluruh kalimat. Pemahaman yang tepat merupakan suatu ganjaran positif sedangkan kesalahpahaman merupakan suatu hukuman/ ganjaran negative.
b)      Braine (1963) mendapatkan bahwa seorang anak pada usia lebih kurang 2 tahun telah memiliki suatu system sendiri untuk mengurutka kata – katanya  segera setelah ia memasuki tahap kaliamt dua kata. System yang digunakanya ini tidak terdapat dalam system bahasa lisan dilingkunganya. Maka hal ini berarti anak bukan saja  memakai daya ingatnya untuk meniru perkataan orang lain melainkan pula menggunakanya untuk menyusun rencana atau program untuk suatu seri kata – kata.
Braine membedakan antara apa yang yang dinamakan kat – kata poros dan kata – kata terbuka. Contoh kata poros yang digunakan anak adalah “mau”.kata ini selalu akan ditempatakan sebagai kata pertama dalam suatu seri kata – kata. Misalnya,”mau pipis, mau mandi” dan sebagainya.
System ini dapat digambarkan dengan rumusan:”mau…”(mau sebagai kata poros, disusul dengan tempat kosong untuk kata terbuka). Kata poros lainya adalah kata “lihat” yang selalu ditempatakan sebagai kata kedua dalam suatu seri kata – kata. Misalnya : “kaumu lihat”, “anak lihat”, “perahu lihat”, dan sebagainya.
Penggambaran system ini adalah sebagai berikut:…liaht (tempat kosong untuk kata terbuka). Mungkin kecenderungan untuk membuat sistematisasi  ini dapat digolongkan sebagai suatu fungsi kognitif bawaan dalam perkembangan bahasa.
Browne dan Bellugi (1964) menyimpulkan bahwa urutan yang digunakan anak biasanya dibiarkan dan tidak dikoreksi oleh ibu mereka.at dikatakan bahwa penglompokan kata merupakan sistematisasi yang pertama serta paling mendasar digunakan anak. Cara mensistematisasi ini kelak erat hubunganya dengan struktur frasa suatu kalimat.
c)      Seorang anak mengadakan refleksi terhadap bahasa/ungkapan lisan orang lain sserta membandingkanya dengan bahasa sendiri. Dengan demikian ia akan menemukan aturan atau hubungan bahasa. Penemuan ini akan dicoba diterapkanya dalam percakapan yang dapat diumpamakan sebagai permainan coba dan periksa secara terus – menerus. Keistimewaanya adalah bahwa aturan bahasa itu ditemukan oleh anak itu sendiri.
2.2.3 Metode Tangkap dan Peran Ganda
Hasil seluruh perkembangan yang telah diuraikan diatas adalah kelangsungan percakapan dan komunikasi yang semakin baik dan makin tidak bergantung pada ibu atau orang lain melaui metode tangkap dan peran ganda. Menurut pandangan Van Uden, seorang ibu akan berhenti menggunakan metode tangkap dan peran ganda jika anak menginjak usia kurang lebih 5 sampai 6 tahun. Kemudian menyusul pendidikan formal disekolah dasar dimana si anak akan semakin menyadari kemampuan berbahasanya melalui kemampuan membaca dan menulis. Kedua kemampuan ini akan makin melahirkan kemampuan berbahasa anak sehingga ia akan menjadi mandiri dalam mengadakan percakapan dan menggunakan bahasa.

2.3  IKHTISAR PERKEMBANGAN BAHASA PADA ANAK MENDENGAR
Poses penguasaan bahasa dapat digambarkan dalam suatu bentuk spiral yang menunjukkan perkembangan dari bawah ke atas yang semakin meluas dan tidak terbatas, yaitu :
1.      Bertolak dari percakapan yang dibantu metode tangkap dan permainan peran ganda ibu / orang lain.
2.      Melalui proses penguasaan secara psikis dan kognitif.
3.      Menuju kesuatu percakapan tanpa bergantung kepada orang lain.
4.      Dengan kemampuan tersebut melalui penguasaan psikokognitif yang makin mantap (antara lain membantu peran membaca dan menulis)
5.      Menuju kesuatu percakapan yang makin lepas dari bimbingan orang lain.
Bila proses penguasaan bahasa sebagaimana dipaparkan Van Uden dikaitkan dengan kemampuan bahasa yang perlu dicapai seseorang, yaitu kemampuan bahasa ekspresif dan reseptif. Proses penguasaan bahasa anak dengar. Perhatikan bahwa proses penguasaan bahasa reseptif atau pemahaman ungkapan lingkungan melalui menyimak dan kemampuan ekspresif lisan dikuasai anak mendengar secar informal dirumah  pada usia balita. Baru kemudia di sekolah, secara formal akan dipelajari kemampuan bahasa reseptif melalui kemampuan membaca dan kemampuan ekspresif tertulis.

2.4  PENERAPAN MODEL BAHASA ANAK DENGAR UNTUK DIDAKTIK ANAK TUNARUNGU
Penerapan model bahasa anak dengar untuk didakrtik pengajaran anak tuli meliputi tiga tahapan sebagaimana terjadi pada nak mendengar, yaitu :
2.4.1        Perilaku Lahiriah
a.       Nilai Instrumental Bahasa
Komunikasi dengan anak tunarungu harus dimuali sedini mungkin (menurut Van Uden selambat – lambatnya waktu anak berumur ± 1,6 tahun). Dalam pelaksanaanya hendaknya menggunakan metode yang didasarkan prinsip – prinsip conditioning / pembiasaan yang klasik dan operant serta membangkitkan dorongan meniri pada anak. Metode ini dipandang paling sesuai   karena berpijak pada perilaku spontan anak. Seorang anak tuli, pada usia dini juga akan mengoceh atau mengeluarka suara – suara tertentu, dan kecenderungan untuk memperhatikan / menatap wajah pembicara perlu dipupuk, serta bila sejak dini dipakaikan alat bantu mendengar (ABM), sikap / perhatian terhadap vokalisasi pun dapat mulai dikembangkan.
Contoh dibawah ini menggambarkan komunikasi yang dijalin dengan bertolak pada perilaku spontan anak :
*      Setiap kali anak mengeluarkan suara yang bagus, ibunya akan memberikan ganjaran dengan membelainya, sedangkan bila suara yang dikeluarkanya jelek, maka ibu tidak akan memberikan suatu reaksi. Apa pengaruh perilaku ibi terhadap anak? Dalam contoh ini prinsip apa yang digunakan oleh ibu?
*      Setiap kali, sebelum anak diberi makan bubur, si ibu membiasakan diri untuk menyapa dengan muka ramah dan berkata “Bubur” atau “Mkan Bubur?” Apa akibatnya? Setelah beberapa kali anak member reaksi terhadap sapaan ibunya itu, sebelum ia meliha makananya (bubur). Jelas disisni ibu menggunakan prinsip conditioning / pembiasaan yang klasik.
*      Ibu dan anak memainkan “ciluk…” setiap kali ibu menutup wajah dengan telapak tanganya dan sewaktu memperlihatkan wajahnya mengatakan “Bu…saying”. Lama – kelamaan anak akan meniru ucapan ibu walaupun tentu tidak secara tepat.
A Van Uden tidak menganjurkan untuk memberi anak terlalu banyak latihan menjodohkan atau lebih dikenal denga latihan identifikasi atau permainan etiket. Suatu metode yang dinamakanya metode antisipasi lebih dianjurkan. Berikut ini ilistrasi untuk memperjelas perbedaan metode antisipasi dari latihan / metode identifikasi :
Dengan metode identifikasi, seorang ibu ingin mengajarkan nama- nama makanan yng ada di meja makan waktu sarapan pagi. Sang ibu menunjukkan sambil menyebutkan beberapa benda di atas meja, seperti “ini roti”, “ini sele” dan sebagainya. Kemudian kata – kata tersebut dituliskan diatas kartu dan ditempatkan pada makanan tersebut, ibarat etiket benda – benda itu.
Pada metode antisipasi, maka ibu itu justru tidak akan menaruh sele kesukaan anaknya diatas meja makan. Ia menuggu sampai anaknya dengan caranya sebdiri menyatakan keinginannya untuk makan roti dengan sele. Ibu kemudian menanggapi ungkapan anak tadi dengan mengatakan,”Oh kamu mau sele?” jika anak mengangguk atau mencoba menirukan kata “sele” ia akan mengambilnya dari lemari dan mengatakan “ini sele” dan menaruhnya diatas meja.
Dari ilustrasi terakhir jelas bahwa ibu ini menggunakan metode antisipasi, yaitu penyajian kata (dalam bentuk lisan, tulisan dan bahkan system isyarat baku)  diberikan sebelum anak melihat atau terpenuhi keinginannya. Cara ini lebih efektif dan menimbulkan minat anak berhubung kata atau bahasa menjadi suatu sarana pemuasan kebutuhannya. Latihan identifikasi ada kegunaannya untuk memantapkan kata atau bahasa yang telah diperoleh melalui metode antisipasi. Selain itu, melalui latihan tersebut, dipertegas tentang keberadaan lambang sebagai pengganti realita (benda, kejadian nyata).
b.      Ancaman atau bahaya dalam proses penguasaan bahasa anak tunarungu dalam tahap awal perkembangannya (pada anak usia 2 – 5 tahun)
*      Pengalaman bahasa yang kurang transparan
Pengalaman berbahasa anak terlalu menitikberatkan pada bentuk bahasa, pola bentuk kalimat dan kata tanpa dipahami maksudnya. Hal ini kan terjadi bila anak secara terus menerus diberikan latihan identifikasi karena “nama” melekat pada suatu benda atau situasi konkret tanpa merangsang minat anak, sehingga juga cepat dilupakan. Bila anak tidak pernah menanyakan arti dari suatu kata baru, maka ini dapat merupakan pertanda bahwa ada sesuatu yang salah dalam perkembangan bahasanya. Perkembangan bahasa harus diikatkan secara erat dengan penghayatan anak, dengan perasaan dan pengalaman anak, sehingga makna bahasa itu transparan baginya.
*      Pengalaman bahasa yang terlalu mengutamakan produksi bahasa anak.
Bila pada awal perkembangan bahasa terlau diutamakan agar anak mengungkapkan diri atau memproduksi bahasa secara baik dan benar maka titik berat akan jatuh pada pembentukan ungkapan dan bukan memberikan suatu dasar luas untuk pemahaman bahasa. Hal ini akan menghambat terjadinya pemahaman secara global intuitif dan menjurus pada penyajian bahasa terpilih secar terbatas, baik mengenai kosakata, bentuk, dan panjang kalimat, maupun situasi.
Pendidik kadang – kadang mengumpulkan ungkapan sehari – hari yang kemudian dilatihkan pada anak untuk digunakan dalam situasi tepat dalam berbagai kegiatan yang sengaja diciptakan. Cara ini kurang tepat dan terlalu formal, dan dibuat – buat. Hal yang sama bisa diajarkan melalui percakapan sejati dalam situasi yang nyata.
Misalnya bila anak tunarungu yang usia 6 tahun ditanyai “Kamu suka jeruk itu? Apakah enak?” lalu anak menjawab,”Jeruk itu bulat”. Jelas anak telah dilatih pola – pola konstruktif dan terbatas sehingga terpaku pada pola – pola tertentu. Bila anak telah di didik melalui metode percakapan yang bebas maka kemungkinan dia akan memberikan percakapan seperti, “Ya, saya suka, jeruk itu enak”. Dalam hal ini anak terarah pada situasinya dan bukan pada bentuk bahasa yang telah dilatih.
c.       Metode tangkap dan peran ganda seperti yang telah dilakukan seorang ibu kepada anak yang mendengar sejak dini harus diterapkan pula pada pendidikan anak tunarungu.
Hal ini berarti bahwa kita tidak perlu mengajarkan terlebih dahulu kosa kata dan baru kemudian memulai percakapan dengan anak. Namun metode tangkap mengandalkan adanya pengalaman sehari – hari yang amat banyak jumlahnya. Lebih – lebih dalam suasana bermain dan melakukan sesuatu bersama. Dasar bahasa bukan semata – mata membangun perbendaharaan kata tetapi terutama menciptakan situasi yang membangkitkan minat anak untuk berkomunikasi. Situasi inilah yang menuntut perbendaharaan kata dan bukan sebaliknya. Sering terjadi bahwa anak yang dididik terutama melalui penanaman lembaga yang dilatihkan, dengan permainan etiket atau identifikasi tidak akan memahami bila diajak bicara walaupun menggunakan kata – kata yang telah dikenal anak. Jelas bahwa terdapat jarak antara kata – kata yang telah dipelajari dengan kemampuan komunikasinya.
Tetapi bagaimana cara menerapkan metode tangkap dan peran ganda untuk anak tuli yang belum berbahasa ?
Berikut ini ilustrasi dari percakapan seorang ibu dengan anak tunarungu berusia ±3 tahun yang terjadi setelah hewan peliharaan mereka (kelinci) melahirkan.
Anak
Ibu
“Brrr” (sambil menunjuk ke kandang kelinci)

“Tatata”(berisyarat memperagakan tidur)
“Oh, kelinci tidur?”
“Mama” (sambil berisyarat mengajak ibunya)
“Saya harus ikut?”
Bersama – sama mereka menuju kekandang kelinci dimana ternyata ada seekor kelinci yang baru lahir lalu mati.
Anak
Ibu
“Brrr” (sambil menunjuk ke kandang kelinci yang telah mati)
“Kelinci itu buan tidur. Dia mati”
Percakapan seperti ini dapat divisualisasikan sebagai berikut :

Kelinci itu tidur
Kelinci itu bukan tidur, dia mati. kasihan
 



            ANAK                                                                                    IBU
Kalimat – kalimat tersebut dapat dimengerti dalam situasi (membaca ideovisual). Bila perlu dapat pula dilengkapi dengan gambar kelinci yang mati. Namun gambar tersebut sebaiknya jangan dibuat sedemikian rupa sehingga mengungkapkan seluruh situasi, karena pengalaman nyata adalah paling penting bukan gambar. Pola visualisasi untuk anak kecil menggunakan balon percakapan.
Analisa voletik dan tulisan menurut Van Uden baru dimulai pada usia ± 5 – 6 tahun, atau lebih muda daripada itu bila anak dinilai mampu dan penyadaran anak terhadap hal tersebut perlu dilakukan sambil bermain.
Fungsi balon percakapan adalah agar :
v  Anak belajar menyadari hubungan antara membaca ujaran, berbahasa tulis, dan bahasa ucap, yaitu bahwa bentuk lisan dapat diwakili dengan bentuk tulis.
v  Anak dapat memperhatikan keseluruhan kalimat sejak awak dan mengingat urutan dari hal yang pernah di ungkapkanya.
v  Anak terhindar dari kebiasaan membaca kata, dengan segera membiasakanya membaca (dan kemudian menulis) secara global intuitif hal yang bermakna baginya.
Beberapa petunjuk yang perlu diperhatikan ketika bercakap dengan anak tunarungu yang belum berbahasa adalah sebagai berikut
*      Usia 1 – 2 tahun
§  Ciptakan suasana atau lingkungan bercakap dengan anak memberi perhatian pada keterarahwajahan serta keterarahsuaraan. Wajah ibu / guru hendaknya menjadi wajah yang “berbicara” menampakkan ekspresi dan mimic yang meyakinkan sesuai dengan bahasa yang diungkapkan. Pupuklah suasana taktil dan kinestesi si anak dengan merasa dan meraba gerakan mulut, getaran dileher untuk membantu menyadarkan vibrasi waktu bicara.
§  Rangsanglah agar anak mengeluarkan suara, meniru suara raban yang bervariasi, dengan menggunakan alat bantu mendengar sebagai umpan balik audiotorik juga denga cermin sebagai umpan balik visual.
§  Cepat tanggap akan suara raban yang dikeluarkan anak dan memancingnya dengan menggunakan gambar – gambar agar dirasakan adanya irama melalui rabaan panjang.
Misalnya :
ü  Gambar kapal terbang dengan suara “aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”
ü  Gambar mobil dengan suara “mmmmmmmmmmmmmmmm”
ü  Gamabar burung dengan suara “bubububububububububububu”
ü  Gambar ikan dengan suara “popopopopopopopopopopopopo”
*      Usia 2 – 3 tahun
§  Bentuk kata – kata yang berarti, bersal dari suara raban  “bobobo…lalala” menjadi “bola”
§  Sambil bermain dengan bola, diteruskan “papapa – papa” (foto papa), “bubububu – burung” (ditunjukkan gambar burung)
*      Usia 3 – 5 tahun
§  Menggunakan prinsip conditioning yang klasik dan operant.
§  Menggunakan balaon percakapan dalam visualisasi dan bacaan (deposit) yang membantu fungsi ingatan.
2.4.2        Proses Kognitif/Perantara
a. Daya Ingat
          Fungsi daya ingatan merupakan salah satu kesulitan utama bagi anak tunarungu dalam proses penguasaan bahasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk beberapa fungsi daya ingat anak tunarungu ketinggalan dibandingkan dengan anak mendengar. Dalam proses penguasaan bahasa, daya ingatan yang paling diperlukan adalah daya ingat untuk ngatan Jangka Pendek (IJPd) maupun lajunya percakapan mengisyaratkan suatu IJPd yang lancar, demikian pula dalam hal membaca. Percakapan yang agak lama mengenai suatu pokok yang sama atau bacaan yang agak panjang memerlukan fungsi IJPj yang baik. Fungsi IJPj khususnya, sangat penting untuk menemukan dan menerapkan hukum atau urutan bahasa.
          Merupakan tugas kita untuk melatih daya ingatan anak tunarungu dalam bahasa yang telah kita pilih untuk diajarkan apakah dalam bentuk tulisan, lisan ataupun ejaan jari. Hasil penyelidikan Van Uden menyebutkan bahwa anak yang dididik secara oral/ritmik akan lebih mudah mengingat kalimat yang telah diucapkan guru dengan berirama dibandingkan dengan bila mereka membaca sendiri (dalam hati tanpa melisankannya) hal ini berlaku bagi IJPd maupun IJPj. Bahkan menyalin kalimat ternyata masih kurang efektif untuk daya ingatan dibandingkan dengan mengucapkannya secara lisan.
b. Secara spontan anak tunarungu akan menunjukkan suatu sistematisasi dalam ungkapan bahasa mereka.
Bahkan pada anak tuli yang masih kecilpun kadang-kadang sistematisasi itu mulai tampak. Perhatikan contoh berikut:
Seorang anak 3 tahun menggunakan kata “Ooooh” untuk menunjukkan segala yang sangat besar, sangat bagus, sangat jauh, dan lain-lain seperti, “Ooooh bis” dengan maksud naik bis pergi jauh, “Ooooh bola” dengan maksud bola plastik yang besar.
Sistematisasi semacam ini agak mirip dengan yang dilakukan anak mendengar. Namun biasanya sistematisasi yang dikembangkan anak tuli berbeda dengan yang dilakukan anak dengar, yaitu lebih dipengaruhi sistematisasi urutan visual atau emosional. A. Van Uden sepenapat dengan Wundt (1908) mengemukakan bahwa isyarat mengikuti urutan tertentu yang tidak cocok dengan urutan bahasa lisan.
Misal : Anak tuli akan berisyarat dengan urutan “lemari di dalam” sebagai pengganti “ di dalam lemari” karena isyarat “lemari” harus digambarkan terlebih dahulu sebelum isyarat “meletakkan sesuatu di dalamnya” mempunyai arti.
Anak kecil yang baru mulai dididik biasanya masih akan lebih dipengaruhi urutan isyarat daripada urutan bahasa lisan. Anak besar yang sudah lama dididik dengan metode oral akan lebih banyak menggunakan urutan bahasa lisan walaupun masih sering dipengaruhi bahasa isyarat. Rupanya terjadi pengaruh timbal balik antara urutan atau peraturan kedua bahas yang berbeda tersebut.
Tervoort dan Verberk (1976) seperti dikutip van Uden, menyimpulkan pula bahwa anak tunarungu yang dilatih dengan skema kalimat visual seperti Fitzgerald Key juga akan mencampuradukan urutan visual dengan urutan isyarat.
Lebih jauh lagi van Uden menekankan perbedaan hakiki yang terdapat antara pengelompokkan isyarat dengan pengelompokan kata. Kata-kata dikelompokkan berdasarkan satuan-satuan yang berirama atau yang bertekanan. Sistem isyarat rupanya tidak mengenal pengelompokkan menurut tekanan atau aksen. Isyarat yang mendapat penekanan akan ditempatkan di muka. Misalnya “Saya datang besok” (dengan tekanan pada kata “besok”) menjadi “Besok saya datang”.
Rupanya bukan hanya urutan visual atau kegiatan yang berperan mempengaruhi urutan isyarat tetapi juga faktor emosional (visual/emosional order). Bila anak sekaligus berisyarat dan berbicara maka gejala pencampuran ini makin nyata. Umpamanya mereka jarang menggunakan kata ingkar “tidak” dan “tidak ada” melainkan akan membuat isyarat berupa gelengan kepala sambil mengucapkan kata tugas yang menunjukkan pengingkaran.
Misalnya : berkata “bola” sambil menggelengkan kepalanya berarti “dia tidak melihat bola dan tidak tahu ada di mana”.
Menurut van Uden penerapan “aturan” urutan visual dan emosional yang muncul secara spontan itu baru akan hilang bila merekan mulai mendasarkan urutan pada pengelompokkan menurut irama.
c. Metode Reflektif
Menurut van Uden tidak dapat dibenarkan bila anak tuli diberi latihan untuk menyusun kalimat serta bentuk bahasa lainnya berdasarkan suatu contoh yang belum ditemukannya sendiri melalui berbagai contoh pengalaman berbahasa. Cara mengajar bahasa seperti itu yaitu berdasarkan suatu program yang telah disusun sebelumnya, memang tidak ditemukan dalam proses penguasaan bahasa ibu sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Cara seperti itu banyak ditemukan dalam cara mengajar bahasa kedua atau bahasa asing (lihat bagian awal bab ini). Bila anak tuli diajarkan dengan demikian maka akan berakibat sebagai berikut:
·         Anak akan terlalu terpaku pada sejumlah kosa kata yang sempit baik mengenai bentuk maupun isinya.
·         Terhambatnya cara berpikir yang luwes sehingga tidak dapat menangkap sepenuhnya berbagai makna kata maupun berbagai kemungkinan kombinasi kata-kata.
·         Terhalangnya pelaksanaan percakapan yang sungguh-sungguh spontan yang sekaligus menjadi penghalang untuk berkembangnya empati (turut menghayati perasaan orang lain).
·         Kandasnya kemampuan membaca pada tahap kosa kata (lihat uraian tentang membaca)
Metode reflektif mencoba menggabungkan bahasa percakapan yang normal  sehari-hari waktu masa kanak-kanak dengan pengajaran aturan/hukum kelukuan gramatikal. Arti harfiah dari refleksi adalah memantulkan kembali (memantulkan sinar yang terjadi pada reflektor). Arti kedua adalah untuk melihat dan meninjau kembali pengalaman, kesan, bayangan, perasaan, dan pikiran sendiri yang menimbulkan kesadaran sehingga seseorang dapat mengontrol tingkah lakunya.
Dalam didaktik pengajaran bahasa, refleksi berarti meninjau kembali pengalaman bebahasa, sehingga anak bisa mengontrol penggunaan bahasa secara aktifmaupun pasif (yang pada umumnya dilakukan di bawah sadar). Tujuan utama refleksi adalah proses penyadaran tentang adanya hukum bahasa dan kemampuan untuk mengontrol penggunaan bahasa. Dapatkah anak tuli dibawa untuk mengadakan refleksi atas perolehan bahasa yang telah dimengerti secara global sehingga menemukan serta menerapkan sendiri aturan bahasa?
Metode Maternal Reflektif (MMR) merupakan metode yang disusun berdasarkan keyakinan bahwa hal tersebut mungkin terjadi melalui:
1.      Pengembangan Percakapan Sejati dengan metode tangkap dan peran ganda sehingga bentuk dan maksud bahasa mendapat giliran tanpa dibuat-buat.
       Jadi tidak hanya bentuk pernyataan seperti yang sering terjadi di sebagian besar metode, namun juga bentuk tanya, ungkapan perasaan, seruan dan lainnya diberikan sesuai situasi yang tepat. Segi pokok yang harus diperhatiakan dalam ungkapan lisan anak adalah agar mereka sedapat mungkin mengelompokkan kata-kata menurut irama. Anak dibiasakan agar berbicara seritmis mungkin untuk melatih daya ingatan dan agar anak dapat menemukan sendiri struktur frase atau tempat pemenggalan yang tepat serta kata yang perlu diberi tekanan. Seperti diketahui, struktur frase mempunyai peran yang mendasar dalam susunan kalimat.
      A. van Uden membedakan antara 2 macam percakapan, yaitu percakapan dari Hati ke Hati dan Percakapan Linguistik (bahasa).
·         Percakapan dari Hati ke Hati (Heart to Heart Conversation)
      Pelajaran percakapan semacam ini merupakan percakapan spontan di kelas, pada watu luang, dengan orangtua dan para pengasuh asrama. Yang sentral ialah adanya fleksibilitas dalam isi serta pengembangan perasaan empati. Ungkapan anak yang masih salah, secara langsung dibetulkan melalui metode tangkap, namun keluwesan dan pertukaran pikiran sedapat mungkin tidak diganggu.
      Selanjutnya van Uden (1980) menambahkan beberapa petunjuk bagi para pendidik dalam melangsungkan percakapan, yaitu:
§  Spontanitas; merupakan esensi percakapan sejati. Tanpa adanya spontanitas antara partner percakapan, mustahil terjadi komunikasi baik dalam memahami maupun mengekspresikan diri.
§  Percakapan merupakan suatu pertukaran pikiran, artinya harus merupakan pikiran yang bukan dibuat-buat (real thoughts), maka bersifat kreatif, spontan, intuitif.
§  Pertukaran pikiran mencakup pertanyaan, imbauan, permintaan, melibatkan sikap dan perasaan.
§  Ada pikiran yang diutarakan dengan maksud sebagai suatu pesan yang tertuju kepada partner percakapan, namun ada juga yang tanpa maksud tetapi tetap berarti untuk suatu percakapan.
§  Percakapan mencakup pula bahasa tubuh (body language), yaitu aspek non-verbal yang menyertai ungkapan lisan.
§  Arti pertukaran (exchange) menunjukkan bahwa masing-masing partner percakapan berupaya agar pikiran dan ungkapan mereka saling dipahami dan ini lagi-lagi menuntut empati, yaitu suatu sikap untuk masuk ke dalam dunia pikiran dan perasaan masing-masing (anak & pendidik).
§  Agar para pendidikan dapat menangkap ungkapan anak yang belum sepenuhnya tepat diperlukan sikap mau mendengarkan, peka dan penuh perhatian terhadap apa yang ingin diungkapkan anak, apa yang dipikirkan anak, apa yang mereka ingini, apa yang menarik perhatian mereka dan sebagainya, dan bukan bersikap menggurui.
Percakapan dari Hati ke Hati dapat dibedakan menjadi:
·         Percakapan Bebas (Free Conversation), terjadi bila anak datang dengan cerita istimewa atau ada kejadian yang mengesankan semua anak. Percakapan macam ini dapat berlangsung antara 5-10 menit atau kadang-kadang sampai 1 jam. Percakapan jenis ini umumnya terjadi di pra-sekolah dan kelas dasar rendah.
·         Percakapan Melanjutkan Informasi. Dalam percakapan seperti ini dipercakapkan pokok-pokok yang menyangkut pengetahuan umum. Percakapan melanjutkan informasi diperuntukkan bagi anak-anak yang sudah duduk di kelas-kelas yang lebih tinggi
Contoh-contoh kedua jenis Percakapan dari Hati ke Hati dapat dilihat pada bagian ketiga buku ini.
·         Percakapan Linguistik
Dalam percakapan semacam ini anak belajar mengadakan refleksi atas bahasanya. Bahan biasanya berupa surat atau buku bacaan dalam bahasa (Indonesia) yang wajar. Anak maupun guru perlu menggunakan buku catatan hasil percakapan serta pekerjaan rumah perorangan. Sebagai tindak lanjut perlu dicatat dalam buku tersebut sehingga dapat memberikan gambaran tentang kemampuan tata bahasa anak yang sedang berkembang atau bertumbuh. Fungsi lain buku catatan adalah untuk lebih memantapkan ingatan anak tentang aturan bahasa yang telah ditemukan melalui refleksi, perkembangan kata maupun idiom yang telah dimiliki. Disamping itu, catatan, juga merupakan petunjuk bagi guru pengganti bila anak naik atau pindah kelas.
Selain latihan refleksi juga ada latihan yang dinamakan latihan rekonstruksi dan latihan konstruksi.
Contoh Latihan Rekonstruksi:
·         Kalimat-kalimat dari suatu bacaan digunting dan diacak. Anak diminta untuk menyusun kembali bacaan tersebut menurut urutan semula.
·         Semua kata depan dari suatu bacaan di papan tulis dihapus, lalu anak diminta mengisi kembali, dan seterusnya.
Contoh Latihan Konstruksi
·         Pada kalender di dalam kelas yang menunjukkan tanggal 16 Agustus, tercatat “Besok kita akan merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia”. Setelah hari kemerdekaan lewat, anak-anak ditanya mengenai apa yang perlu diubah pada kalimat tersebut.
·         Penggunaan kata “karena” dan “sebab itu”, seperti dalam kalimat “Hari ini Tono tidak masuk sekolah karena sakit” diminta diubah dengan menggunakan kata “sebab itu”.
Walaupun latihan konstruksi dan rekonstruksi penting, namun sebagai dasar, latihan refleksi perlu diutamakan. Agar anak dapat belajar mengadakan refleksi atas bahasanya, mengandaikan adanya banyak pengalaman percakapan dan juga kemampuan membaca dari pihak anak.
2.      Kegiatan Membaca dan Menulis
Dalam mengajar membaca bagi anak mendengar dikenal berbagai metode/pendekatan antara lain metode Eja (phonic Approach), di mana membaca-menulis permulaan bertolak dari unsur spesifik, yaitu memperkenalkan huruf dan bunyinya. Ada pula metode yang dimulai dengan memperkenalkan kata/kalimat yang sudah dikenal anak, kemudian baru dianalisa sampai unsur huruf/bunyi, dan akhirnya disintesa kembali, seperti yang digunakan di Indonesia (metode SAS). Di sini jelas bahwa bagi anak mendengar mulai belajar membaca berarti membaca sesuatu yang sudah dikenalnya melalui pendengaran dan sudah digunakannya dalam percakapan sehari-hari sebelum bersekolah. Maka membaca-menulis permulaan bagi mereka adalah kegiatan belajar melisankan tulisan yang telah dikenal anak (Tim Penatar St. Michielsgestel, 1990). Apakah cara mengajarkan membaca-menulis permulaan seperti di SD dapat juga diterapkan bagi anak tuli?
Sudah diketahui bahwa perkembangan bahasa anak tuli jauh lebih ketinggalan bila dibandingkan anak mendengar. Dengan MMR, kemampuan berbahasa anak tuli dikembangkan pula melalui percakapan. Pada tahap awal perilaku bahasa anak tuli masih berada pada taraf pengungkapan diri melalui bahasa tubuh, gerak-gerak tertentu, dramatisasi atau suara ocehan. Peran ganda pendidik berupa ungkapan lisan ditangkapnya secara kurang lengkap melalui membaca ujaran dan pemanfaatan sisa pendengaran.
Di sinilah peran tulisan (dan dalam batas tertentu, ejaan jari/isyarat bila menerapkan Komunikasi Total) sangat mendukung. (Namun tulisan masih memiliki keunggulan di atas Ejaan Jari dan isyarat karena sifatnya menetap). Ungkapan yang belum ditangkap secara sempurna itu atau belum dapat diucapkan anak, langsung dituliskan dalam situasi yaitu divisualkan. Penulisan ini tentu hanya berfungsi bila anak sudah dapat membaca. Maka di sinilah terdapat perbedaan mendasar antara anak tuli dengan anak mendengar perihal membaca-menulis permulaan. Bagi anak tuli belajar membaca dan perkembangan bahasa berlangsung serempak. Pelajaran membaca merupakan pendukung yang diperlukan guna perolehan dan pengolahan bahasa dan sebaliknya.
Kegiatan membaca visualisasi percakapan mula-mula terjadi secara global dan diketahui maknanya karena apa yang dituliskan merupakan ungkapan atau ide mereka sendiri (membaca ideo-visual). Dengan mengamati uraian tentang metode/pendekatan membaca permulaan dalam bab IV bagian pertama buku ini, maka dapat disimpulkan bahwa van Uden menerapkan pendekatan psikolinguistik atau pendekatan bahasa secara utuh (whole language approach) dalam mengajar membaca bagi anak tuli.
Bagaimana anak tuli mulai dari kegiatan membaca ungkapan yang merupakan ide sendiri, secara bertahap mampu memahami bacaan dari buku yang dikarang untuk anak mendengar, dapat diikuti pada bagian ketiga buku ini.
Secara garis besar langkah pelajaran membaca bagi anak tuli menurut MMR adalah sebagai berikut:
Membaca ideo-visual; yaitu anak mengerti bacaan yang memuat hal-hal yang sudah diketahui sebelumnya berdasarkan hasil pengalaman sendiri. Seperti dikatakan sebelumnya apa yang belum dapat diucapkan anak langsung ditulisdalam situasi berupa visualisasi percakapan. Kemudian dituangkan menjadi suatu bacaan dalam bahasa yang bebas serta “disimpan”/dicatat dalam buku harian anak. Bacaan itu oleh van Uden diberi nama deposit. Dalam hal ini tokoh tersebut menunjuk pada de Saussure (1916) yang menamakan bahasa sebagai “depot psichique” (suatu depot kejiwaan). Sejalan dengan ini digunakan istilah deposit yang biasanya diartikan sebagai suatu harta kekayaan seseorang yang disimpan di bank yang menghasilkan “bunga”. Maka bacaan sebagai hasil penuangan pengalaman berbahasa anak yang dipahami dan disimpan dalam benak mereka merupakan simpanan kekayaan bahasa yang makin dapat menghasilkan “buah” pemahaman dan produksi bahasa lebih lanjut. Bacaan/deposit yang telah disusun oleh guru merupakan bahan bagi anak untuk belajar membaca secara global intuitif. Sesuai perkembangan anak bacaan ideo-visual bisa mencakup teks bacaan yang secara bertahap memuat bahan pengalaman dimulai dari hal yang terjadi dalam waktu dekat sampai bahan yang sudah sedikit di luar pengalaman anak namun masih bertalian erat dengannya.
Lihat ada kelereng
Contoh 1: Visualisasi dan Deposit Kelas Persiapan I
Ø    Visualisasi
Punya siapa?
Tino berkata


Pak Tonny bertanya
Punya Nico
 
           
Nico menjawab
Kelereng itu semua ada empat
 


Kami bisa bermain kelereng
Dedy berkata

Rafli berkata
Ø   
Tadi, kami bermain kelereng
Deposit
Kelereng ada empat
 
Rafli berkata
Siapa yang punya kelereng itu?
                                                                                                                        Dedy berkata
Punya saya
                                                                                   
Pak Tonny bertanya
Lihat! Ada kelereng yang berwarna hijau
Nico menjawab
Juga ada yang berwarna putih biru
 
Tino berseru
                                                                                                                       Nano menyambung
Contoh 2 : Visualisasi dan Deposit dari Kelas Persiapan II
Ø    Visualisasi
Nina berkata, “Hari jum’at kami menabur bunga”.
Edi menyahut, “Ya, lalu berdoa”.
Pak guru bertanya, “Di mana?”
Nina menjawab, “ Di Taman Makam Pahlawan”.
Agus berkata, “Sebelum masuk Taman Makam Pahlawan pak Mutakim membeli bunga”.
Santi berkata, “Waktu menabur bunga kami dipotret”.
Suli menyahut, “Pada waktu menyiram pusaran juga”.
Agus berkata, “Suli menginjak makam waktu menabur bunga”.
Anak-anak berseru “Tidak boleh ya!”
Ø    Deposit
Taman Makam Pahlawan
“Hari Jum’at, tanggal 19 desember kami menabur bunga” ujar anak-anak.
“ya, di Taman Makam Pahlawan” sahut Nina.
“Di sana ada 7 makam pahlawan revolusi,” sahut Adi.
“Saya melihat Nina berdoa sambil menundukkan kepala,” ujar Santi.
“Ya, di Makam Pahlawan ada yang beragama Kristen,” sahut Agus.
“Kami juga berdoa di makam yang beragama Islam,” ujar Santi dan Edi
“Sebelum pulang kami menyiram pusaran dulu,” kata Suli
“ Lalu dipotret ya,” sahut Agus.
Persyaratan Menyusun Deposit
Penyusunan deposit sesungguhnya tidak mudah walaupun tampak sederhana. Beberapa persyaratan yang perlu diingat adalah antara lain: Jangan selalu menggunakan bentuk pernyataan seperti yang masih sering terjadi tetapi gunakan pertanyaan, suruhan/seruan dan sesegera mungkin masukkan percakapan kecil. Semua ini harus dijaga agar deposit tidak disusun mengikuti urutan kronologis yang tepat.
Bandingkan kedua deposit di bawah ini!
Contoh deposit yang disusun tanpa mengikuti urutan kronologis yang tepat.
Banjir
“Kemarin pagi hujan lebat!” seru Tito.
“Kampung saya banjir. Air masuk ke dalam rumah setinggi lutut. Jadi saya tidak dapat masuk sekolah,” Tito menjelaskan.
“Jalan Sudirman juga banjir. Saya melihat banyak mobil mogok, motor-motor juga mogok, kata Joko.
“Kasihan , mereka harus mengungsi, sampai air surut kembali,” kata pak Kirman.
“Untung di Cipete tidak banjir!” seru Novi
Contoh deposit yang disusun mengikuti urutan kronologis yang tepat.
Banjir
“Kemarin Tito tidak masuk sekolah” kata Joko.
“Banyak anak tidak masuk sekolah,” tambah Tuti.
“Saya tidak masuk sekolah sebab banjir,” Tito menjelaskan.
“Di mana-mana banjir,”kata Joko
Di Jalan Sudirman dan Mampang juga banjir. Di Jalan Sudirman ada banyak mobil dan motor mogok. Di Mampang ada banyak orang mengungsi. Mereka membawa barang-barang ke luar rumahnya.
                   Bacaan seperti ini biasanya juga diberi gambar-gambar, setiap kalimat satu gambar. Cara seperti ini akan mengakibatkan terjadinya kekeliruan dalam berpikir dengan bahasa serta menghambat perkembangan membaca yang sesungguhnya.
Ø  Membaca Reseptif; meliputi dua tahap yaitu:
·         Tahap kosa kata, yaitu anak mengerti bacaan yang memuat hal-hal yang baru namun pada pokoknya dapat ditangkap atas dasar menerka-nerka kata yang telah dimilikinya.
·         Tahap struktur, yaitu anak mengerti bacaan yang memuat hal-hal yang baru bukan hanya atas dasar kosa kata yang dimiliki melainkan juga melalui pemahaman atas struktur bahasa, misalnya bagaimana arti kata dapat bergeser, bagaimana kata-kata dapat dikelompokkan dan berkaitan satu dengan lainnya.
              Berikut ini adalah skala penilaian kemampuan membaca berdasarkan teks suatu bacaan. Berdasarkan skala ini para pendidik dapat memperkirakan pada tahap mana siswanya berada. Sebagai informasi tambahan dapat dikemukakan bahwa mulai nomor 5 pada skala penilaian ini, merupakan taraf membaca anak mendengar berusia 8 tahun dan mulai nomor 7 taraf kemampuan membaca anak mendengar usia 11 tahun (standar untuk negeri Belanda)
            Skala Penilaian Kemampuan Membaca
·   Membaca Ideo-Visual : pada tahap ini anak hanya mengerti teks yang mengungkapkan sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya, jadi yang merumuskan pengalamannya. Norma-norma
1.      Anak hanya mengerti teks mengenai pengalaman yang terjadi tidak lebih dari dua bulan lampau.
2.      Anak dapat dengan lancar mengerti bacaan dari buku harian atau buku asosiasinya, yang dibicarakan tiga bulan lalu atau lebih.
3.      Anak mengerti teks baru (misalnya.surat dari orangtua, bacaan dari buku bacaan asosiasi anak lain, dsb), yang sedikit banyak sudah berada di luar pengalamannya sendiri, namun masih mempunyai kaitan erat dengan pengalaman anak (pengalaman analog).
·   Membaca Reseptif dalam Tahap Kosa Kata, merupakan tahap membaca di mana anak memperoleh pengertian tentang hal-hal baru, tetapi pemahamannya terutama dengan sedikit mengira-ngira sambil memanfaatkan kosa kata yang sudah dikenalkannya.
4.      Teks masih menyangkut situasi yang cukup dikenal anak atau yang mudah dapat ditunjukkan melalui gambar, kendati pengalaman yang diberikan masih baru bagi anak. Misalnya tentang suatu keluarga, tentang warung nasi, tentang olah-raga, tentang teman-teman, tentang berjalan-jalan, dan bepergian ke suatu tempat yang cukup dikenal anak.
5.      Teks mengenai situasi yang meminta kemampuan berkhayal dan berangan-angan. Umpamanya dongeng, cerita dari sejarah yang berlangsung di alam kebudayaan lain, petualangan dan sebagainya.
6.      Teks berisikan hal seperti yang terdapat pada nomor 4 dan 5 di atas, namun anak dapat mengartikan sendiri (mungkin dengan sedikit bantuan) kata-kata penunjuk atau kata-kata tanya. Anak dapat juga menyusun kembali sebuah teks yang tidak disusun secara tepat menurut urutan logis atau kronologis, asal hal itu tidak terlalu rumit. Akhirnya anak mampu memahami teks suatu percakapan, di mana tidak begitu jelas siapa mengucapkan masing-masing bagiannya.
·   Membaca Reseptif dalam tahap Struktur; pada tahap ini, anak mengerti teks yang berisikan hal-hal baru bukan hanya melalui kosa kata yang sudah dikuasainya, namun juga melalui struktur bahasa. Misalnya, bagaimana arti kata dapat bergeser, bagaimana kata-kata dikelompokkan menjadi satu kesatuan bagaimana kata-kata tergabung dengan tafsiran dan inklinasi (perubahan bentuk seperti aku – ku, engkau – kau), apa arti struktur tata bahasa, dan lain-lain.
7.      Teks memerlukan kemampuan anak untuk memahami humor bahasa, arti kiasan, alegori, dan lain-lain. Anak mampu menangkap keseluruhan kalimat panjang dengan beberapa anak kalimat dan dengan “susunan pengapit”. Seperti, “ia kemarin sengaja terburu-buru menyelesaikan seluruh pekerjaannya,” dan sebagainya.
8.      Anak cukup mampu membuat rangkuman buku atau karangan lain yang agak panjang, dengan isi dan struktur seperti yang disebutkan pada nomor 5-6-7.
9.      Anak sebagian besar secara mandiri memahami teks-teks yang bersifat sastrea.
2.4.3 Pertumbuhan Terus Menerus
Penguasaan bahasa anak tuli dapat juga digambarkan menurut bentuk spiral dari bawah ke atas yaitu bertolak dari percakapan mengikuti metode tangkap dan peran ganda yang menghasilkan bacaan sebagai bahan untuk melatih anak mengadakan refleksi. Hal ini akan meningkatkan mutu percakapan yang selanjutnya akan mengakibatkan terjalinnya kontak yang makin baik. Dengan semakin maju refleksi anak, terbentuklah dasar untuk menyusun karangan dan penggunaan bahasa menurut aturan. Dengan demikian anak semakin dapat berdiri sendiri dalam melangsungkan percakapan, dapat memahami bacaan, dan semakin menguasai ungkapan bahasa dan seterusnya.
Untuk selanjutnya lihat bagan Proses penguasaan Bahasa Anak Tunarungu. Perhatikan bahwa pada awal proses penguasaan bahasa, berbeda dengan anak mendengar tidak hanya berlangsung di rumah melainkan di sekolah bersama guru dan teman sekelas.
Kemampuan/ Perilaku, antara lain:
Proses Perantara, antara lain:
Kemampuan
Bahasa Tubuh
Mengoceh/ Menangis
Mendengar
Keterarahan-wajahan
1.      Dorongan Meniru
2.      Condiitioning
3.      Sikap Tanggap Peran Ganda Ibu
4.      Daya Ingatan
5.      Daya Sistematisasi
6.      Daya Refleksi/ Induksi


Bahasa Reseptif (Mengerti bicara lingkungan)





Bahasa Ekspresif (Bicara)


Bahasa Reseptif (Membaca)





Bahasa Ekspresif (Menulis)
Proses Penguasaan Bahasa Anak Mendengar

10. 
Formal di sekolah
Pengalaman bersama ibu (orang lain) dalam interaksi manusiawi secara informal di rumah. Anak memperoleh masukan informasi kebahasaan (mandi bahasa) dan terjadi interaksi/partisipasi aktif anak dan orangtua
 













Kemampuan/ Perilaku, antara lain:
Kemampuan
Proses Perantara, antara lain:
Proses Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu

Bahasa Tubuh
Mengoceh/ Menangis
‘Mendengar’
Keterarahan-wajahan
1.    Dorongan Meniru
2.    Conditioning
3.    Sikap Tanggap Peran Ganda Ibu
4.    Daya Ingatan
5.    Daya Sistematisasi
6.    Daya Refleksi/ Induksi
Bahasa Reseptif (Mengerti bicara lingkungan melalui membaca ujaran/ ideovisual/isyarat/sisa pendengaran)




Bahasa Ekspresif (Bicara)


Bahasa Reseptif (Membaca)





Bahasa Ekspresif (Menulis)
Formal
Pendekatan informal
 












BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Penguasaan bahasa anak tuli dapat juga digambarkan menurut bentuk spiral dari bawah ke atas yaitu bertolak dari percakapan mengikuti metode tangkap dan peran ganda yang menghasilkan bacaan sebagai bahan untuk melatih anak mengadakan refleksi. Hal ini akan meningkatkan mutu percakapan yang selanjutnya akan mengakibatkan terjalinnya kontak yang makin baik. Dengan semakin maju refleksi anak, terbentuklah dasar untuk menyusun karangan dan penggunaan bahasa menurut aturan.
Dengan demikian anak semakin dapat berdiri sendiri dalam melangsungkan percakapan, dapat memahami bacaan, dan semakin menguasai ungkapan bahasa dan seterusnya.
Untuk selanjutnya lihat bagan Proses penguasaan Bahasa Anak Tunarungu. Perhatikan bahwa pada awal proses penguasaan bahasa, berbeda dengan anak mendengar tidak hanya berlangsung di rumah melainkan di sekolah bersama guru dan teman sekelas.












DAFTAR PUSTAKA
Bintoro, Totok dan Tonny Santosa (2000), Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu, Jakarta : Yayasan Santi Rama








Tidak ada komentar:

Posting Komentar