BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makalah ini membahas tentang psikolinguistik landasan
pengajaran bahasa bagi anak Tunarungu yang diilhami tulisan A. Van Uden
berjudul A Model Of Teaching A Mother Tongue to Pre-Lingually Deaf Children,
Based on Psycholinguistic Principles (Suatu Model Penguasaan Bahasa Ibu Tuli
Pra- Bahasa, Berdasarkan Prinsip Psikolinguistik) yang terdapat dalam buku yang
dikarang oleh tokoh tersebut berjudul A Word Of Language For Deaf Children,
Part I; Basic Principles, A Maternal Reflective Method).
Bagi
para pendidik yang ingin mempelajari MMR, merupakan suatu keharusan untuk
mempelajari dan memahami landasan yang digunakan A. Van Uden sebagai pencipta
Metode Maternal Reflektif. Tokoh tersebut bertolak dari ilmu psikolinguistik
atau psikologi bahasa, suatu ilmu yang mempelajari hukum – hukum yang melandasi
perilaku berbahasa seseorang, yaitu bagaimana proses – proses mental seseorang
sehingga memperoleh bahasa dan menggunakan bahasa (Slobin, 1974). Berbeda dari
ilmu linguistik yang mempelajari hukum/ aturan system bahasa itu sendiri.
Pada
awal bab ini perlu diraikan terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud Van Uden
dengan bahasa ibu atau mengapa metodenya memakai maternal. Kemudian menyusul
uraian bagaimana proses penguasaan bahasa ibu itu berlangsung pada anak
mendengar melalui tiga tahapan, yaitu perilaku lahiriah, proses kognitif
sebagai perantara, dan peran membaca serta menulis dalam perkembangan bahasa
yang normal. Bagian pertama akan disusul dengan uraian tentang bagaimana A. Van
Uden berdasarkan model tersebut mengembangkan suatu didaktik untuk mengajar
bahasa ibu pada anak tuli dengan tekanan berlangsungnya percakapan, pemahaman
bahasa secara fleksibel/luwes (termasuk belajar membaca) dan menuntut anak agar
menemukan sendiri aturan / hukum bahasa.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian dari Bahasa Ibu ?
2. Bagaimana
proses penguasaan Bahasa Ibu Pada Anak Mendengar ?
3. Bagaimana
Ikhtisar Perkembangan Bahasa Pada Anak Mendengar ?
4. Bagaimana
Model Bahasa Anak Dengar Untuk Didaktik Anak Tunarungu ?
1.3 Tujuan
1. Untuk
Mengetahui pengertian dari Bahasa Ibu.
2. Untuk
Mengetahui proses penguasaan Bahasa Ibu Pada Anak Mendengar.
3. Untuk
Mengetahui Ikhtisar Perkembangan Bahasa Pada Anak Mendengar.
4. Untuk
Mengetahui Model Bahasa Anak Dengar Untuk Didaktik Anak Tunarungu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN BAHASA IBU
A
Van Uden membedakan 3 arti atau situasi diamana istilah bahasa ibu dapat digunakan.
Situasi pertama adalah bahasa ibu dalam arti sempit yaitu menunjuk pada bahasa
pertama/asli yang dikuasai/dipelajari seseorang secara informal pada mas kanak
– kanak dan lazimnya terjadi atas peran ibunya dan anggota keluarga lainya.
Penguasaan bahasa ibu ditandai oleh suatu otomatisasi, bukan hanya dalam
memproduksi kalimat atau pengutaraan diri dalam bahasa tersebut, melainkan pula
dan mugkin ini merupakan hal terpenting menurut Van Uden, pemahaman atas
kalimat atau ungkapan dalam bahasa itu. Pemahaman secara langsung ini berlaku
baik melalui pendengaran (menyimak) maupun membaca, dan bagi anak tuli yang
dididik secara oral melaui membaca ujaran. Bila kita mempelajari bahasa kedua
setelah penguasaan bahasa ibu maka pemahan itu terjadi secara tak langsung,
yaitu sedikit banyak melalui terjemahan dari bahasa ibu. Demikian sebaliknya
terjadi bila seseorang perlu mengutarakan diri dalam bahasa itu (ingat bila
seorang penutut\r bahasa Indonesia akn berbahasa Inggris). Sudah jelas bahwa
keadaan ini akan sedikit banyak menghambat kelancaran dalam bercakap bila
penguasaan bahasa kedua tidak atau belum mencapai suatu otomatisasi.
Situasi
kedua digunakanya setelah bahasa ibu adalh untuk menunjukkan pada bahasa kedua
yang dipelajari seseorang terutama secara formal pada awal merupakan suatu
bahasa asing namun setelah beberapa waktu mencapai otomatisasi sehingga dapat
melangsungkan percakapan secara cukup lancar dalam bahasa asing itu. Keadaan
ini dapat dinamakan bahasa ibu dalam arti luas dan dalam era globalisasi dewasa
ini bukan hal yang aneh.
Situasi
ketiga adalah bila seseorang belajar menguasai bahasa pertama yang kemudian
dapat digunakan secara langsung dan cukup mencapai suatu otomatisasi, walaupun
dipelajari dengan cara yang lebih formal diandingkan dengan belajar bahasa ibu
pada situasi pertama. Maka masalah
pokok yang dibahas dalam bab ini dan bab – bab berikutnya adalah member jawaban
atas pertanyaan, “Apakah denga mempelajari psikolinguistik kita akan menemukan
prinsip – prinsip yang kemudian dapat membantu para pendidik mengajar anak tuli
menguasai suatu bahasa yang mencapai suatu otomatisasi sehingga dapat dinamakan
bahasa ibu ?” A. Van Uden memiliki keyakinan penuh tentang ini yaitu penguasaan
suatu bahasa ibu bagi anak tuli sebagi abhasa pertama walaupun dipelajari
dengan cara yang tidak se-informal penguasaan bahas ibu dalam arti pertama
melainakan seprti bahasa ibu dalam arti ketiga.
2.2 PROSES PENGUASAAN BAHASA IBU PADA
ANAK MENDENGAR
Dalam
proses penguasaan bahasa ibu pada anak mendengar dapat dibedakan tiga pokok
yaitu:
2.2.1
Perilaku
Lahiriah
a.
Kemampuan meraban dan menyimak suara
Seorang bayi akan secara alami mengalami
perkembangan meraban atau mengoceh serta memperhatikan semua vokalisasi
disekitarnya. Karena dorongan meniru/imitasi, maka kemampuan meraban
berkembangsemakin jelas dan meluas menjadi kosa kata aktifdan perhatian untuk
kata dan kalimat menghasilkan bahasa pasif. Hal ini terjadi karena beberapa
vokalisasi memperoleh nilai instrumental atau menjadi sarana pemuasan
kebutuhaya. Contohnya :
Suara ocehan
“mamama” (yang terjadi secara kebetulan) ditanggapi oleh ibu dengan belaian dan
ungkapan, “Ya, ini mama saying”. Anak akan senang dengan tanggapan tersebut,
lalu akan mengulang kembali vokalisasi itu dan akhirnya menggunakanya dalam
situasi tertentu sebagai tanda suatu
kebutuhan.
Sebaliknya, kata
“susu” yang dipakai ibu dalam beberapa situasi, lama kelmaan dikenal anak
sebagai tanda bahwa ia akan mendapat makanan, digendong, dan sebagainya. Suara
ocehan (mamama) dan suara yang disimak (susu) telah menjadi alat atau
instrument atau sarana pemuasan kebutuhanya.
Dapat
disimpulkan bahwa kedua kemampuan itu (mengoceh dan menyimak) berkembang
menjadi bahasa aktif dan bahasa pasif melalui proses pembiasaan atau
conditioning (klasik maupun operant) serta pengaruh atau tanggapan lingkungan
menyambung pada dorongan meniru yang dimiliki anak.
b.
Bahasa pasif (pemahaman bahasa
lingkungan) lebih cepat berkembang daripada bahasa aktif, hal ini disebabkan
karena :
Perhatian anak yang tertuju pada kode
maupun pada situasinya (termasuk orang – orang) dan keduanya terintegrasi
secara sempurna menjadi satu kesatuan. Latihan formal terhadap bentuk kode itu
sendiri terslepas dari situasi atau artinya jarang terjadi. Maka hal ini dapat
dirumuskan sebagai berikut; lambang – lambang bahasa itu bersifat transparan,
yaitu secara langsung menunjuk ke artinya dalam satu kesatuan. Lambang –
lambang bahasa biasanya baru mendapat perhatian bila seorang menemukan kata
yang belum dikenal, atau terjadi salah ucap atau tulis sehingga tidak segera/
langsung menunjuk pada artinya.
Anak mengenal kembali vokalisasi
lingkungan secara fleksibel dalam aneka ragam kombinasi (dengan kata – kata
lain) yang semakin kaya. Kombinasi itu terjadi dalam kompleks linguistic maupun
ekstralinguistik. Misalnya kata “baju” mungkin diperoleh dalam konteks kebahasaan
seperti “baju merah, pakai baju, beli baju, baju bagus, baju baru, cuci baju”
dan sebagainya. Sedangkan dalam konteks ekstralinguistik berupa nada dan lagu
yang menyertai ungkapan kata / kelompok kata/ kalimat sehingga dapat membawa
suatu suasana hati, perasaan sengang atau tidak senang dan sebagainya pada
anak. Kemungkinan kombinasi yang beragam ini menjadi dasar pengembangan
perilaku kreatif.
c.
Bahasa aktif dan bahasa pasif bertemu
terutama dalam percakapan antara ibu dengan anak (dan orang lain).
Semula
percakapan terkait dengan kegiatan melakukan sesuatu bersama; anak selau diajak
bicara sewaktu dirawat ibunya, demikian juga sewaktu bermain bersama. Melakukan
kegiatan dan bermain bersama merupakan landasan guna berlangsungnya percakapan.
Tanpa itu, percakapan akan terhambat dan oleh karenanya juga seluruh proses
pemerolehan bahasa (language acquisition).
Ciri kedua dalam melaksanakan percakapan
ini adalah bahwa seorang ibu memakai metode yang menarik yang terjadi secara
naluriah yaitu apa yang dinamakn Van Uden (1955-1965) metode tangkap (Seizing
Method) dan memainkan suatu peran ganda. Sang ibu menangkap dan kemudian
menaggapai apa yang diungkapkan anak melalui tingkah lakunya yang belum
berbahasa. Perhatikan contoh dibawah ini.
Conroh 1 :
Anak
|
Ibu
|
“mum …mum”
(dengan nada yang menyatakan permintaan)
|
“Oh, Andi mau
minum? Itu untuk papa saying, ini susu Andi.”
|
Di sini terlihat bahwa ibu mengangkap apa
yang di ungkapkan oleh anaknya dengan cara yang masih sangat sederhana, berupa
bunyi bahasa dengan nada tertentu (mum…mum) serta membahasakanya secar tepat
(Oh, Andi mau minum?). sekaligus ia berperan ganda dengan memberikan sumbangan
sendiri dalam percakapan yang dapat dimengerti anak dalam situasi “itu untuk
papa saying. Ini susu Andi.”
Karena situasi itu berlangsung terus
menerus setiap hari. Maka makin lama anak mengerti secara umum dan intuitif apa
yang dikatakan ibunya. Perlu diperhatikan bahwa sumbangan ibu untuk percakapan
tidak kalah pentingnya dengan penafsiran ibu atas tingkah laku anak, sebab
tanpa sumbangan ibu tidak akan terjadi suatu percakapan.
Melaui metode
tangkap dan peran ganda ini, sedikit demi sedikit ibu sampai pada suatu
percakapan yang sepihak dengan anaknya yang belum berbahasa. Namun perkembangan
berlangsung terus seperti dapat disimak dari contoh – contoh berikut ini
Contoh 2:
Setahun
berselang pada ank usia 2;3 tahun terjadi percakapan dalam situasi dimana ibu
sedang mempersiapkan air jeruk untuk ayah yang sebentar lagi akan pulang.
Anak
|
Ibu
|
“Mm…enak”
|
“Ya, enak air
jeruk untu papa”
|
“Enak papa”
|
“Ya, ini eank,
kita bikin untuk papa, ya!”
|
“Papa ail
jeluk”
|
“Air jeruk
untuk papa” (diucapkan dengan lagu dan suara yang jelas)
|
“Ail Jeluk”
|
“Ya air jeruk.
Anak mama pinter bicara. Nanti bilang sama papa, ya.”
|
“Papa…oto”
|
“Papa naik
bis”
|
“Tia oton”
|
“Tidak, motor
papa rusak.”
|
Sebulan kemudian terjadi percakapan sebagai
berikut :
Anak
|
Ibu
|
“Iyy atut”’
|
“Takut apa
saying? Oh. . . tikus!”
|
“Ada besa ada,
tikus kecil”
|
“Oh yang besar
tadi induk tikus, ini yang kecil anaknya”
|
“Ma. . . titut
atut kucing”
|
“Ya, tikus
takut pada kucing”
|
:Hus kucing ti
boeh”
|
“Hus kucing
nakal, itu tidak boleh”
|
“Kucing gigit
titut”
|
“Kasihan. . .
tikus itu dimakan kucing”
|
Dari contoh –
contoh diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
Mula – mula anak hampir selalu memakai
kata – kata baku, setiap kali kata – kata tersebut dilengkapi oleh ibunya bukan
hanya dengan kata baku yang masih kurang, melainkan pula dan terutama dengan
kata tugas yang pendek.
Contoh :
Anak
|
Ibu
|
“Enak”
|
“Ini enak”
|
“Enak papa”
|
“Ya, ini enak
untuk papa”
|
“Ail jeluk”
|
“Air jeruk”
|
“Titut besa”
|
“Tikus besar
(induk tikus)”
|
“titut. . .
gigit”
|
“Kasihan tikus
itu”
|
Tia. . . boeh”
|
“Itu tidak
boleh”
|
Sekaligus
ibu memperpanjang ujaran si anak dan dengan demikian melatih daya ingat jangka pendek
yang dalam hal ini bersifat suksesif.
Dalam percakapan antara ibu dan anak
terdapat apa yang dinamakan gejala transformasi. Menurt teori transformasi,
susunan kalimat yang paling sederhana adalah kalimat induk berupa pernyataan
positif dan aktif. Semua susuna lainya seperti bentuk pasif, kalimat negative
dan anak kalimat dianggap sebagai transformasi dari susunan yang lebih
sederhana itu dan terletak dalam lapisan psikis yang lebih dalam. Transformasi
itu akan muncul dalam pikiran anak sewaktu membentuk kalimat yang
ditransformasikan bertolak pada kalimat yang sederhana itu. Tetapi teori ini
tidak memperhatikan bahwa dalam contoh percakapan sebelumnya, sejak dini sudah
terjadi transformasi dalam struktur permukaan. Sering sang ibu mengulang sebuah
kalimat pernyataan dari ank dalam bentuk tanya, pasif, dan sebagainya.
Contoh :
Anak
|
Ibu
|
“Mm….enak”
(bentuk seru)
|
“Ya, ini enak”
(bentuk pernyataan)
|
“Papa…oton?”
(bentuk tanya)
|
“Tidak, papa
naik bis” (pernyataan ingkar)
|
Jadi tidak dapat
dikatakan bahwa kalimat pernyataan yang positif, aktif merupakan kalimat yang
paling pertama dan kerap terjadi dalam percakapan antara ibu dan anak.
Isi percakapan
dan sifat transparanya lambang – lambang bahasa tetap merupakan perangsang
terkuat bagi perkembangan proses mental serta bentuk ungkapan, namun bentuk
gramatikal pun tetap memgang peran penting. Percakapan seakan – akan merupakan
gelanggang untuk bermain bahasa, anak belajar bahassa ibu dengan mencoba – coba
mencocokan secara terus – menerus dengan penunjang dan pembetulan dari ibu.
2.2.2
Proses
Kognitif/Perantara
Beberapa proses
kognitif yang merupakan proses antara dalam penguasaan bahasa ini menurut Van
Uden adalah “
a) Fungsi
daya ingatan, baik daya ingatan jangka pendek (IJPD) maupun daya ingatan jangka
panjang (IJPj). Sorang anak menggunakan IJPD-nya menirukan ibu, seperti dalam
contoh sebelumnya “Ail jeluk”
Peniruan ini bersifat
ritmis dan melodis. Contoh berasal dari anak usia 2;1 tahun.
Ibu
|
Anak
|
“Itu
paman Diro!”
|
“Paman….Io”
Paman . . .Io!”
|
Setelah selang
waktu 1,5 jam, paman itu kembali kerumah anak itu. Kedatanganya disambut dengan
ujaran, “Paman. . .Io!” dengan lagu dan mimik yang sama seperti pertamakali.
Jelas bahwa ia telah menyimpan ingatan tentang nama iti dalam IJPj-nya. Sudah
jelas bahwa fungsi daya ingat sangat mendasar, khususnya untuk perilakun yang
terjadi secara berurutan atu suksesif. Panjang serta struktur kalimat
tergantung pada daya ingatan, baik untuk pemahaman maupun pengungkapanya. Jika
daya ingatan anak sempit (untuk IJPd-nya) maka pada akhir kalimat sudah lupa
permulaanya. Dengan sendirinya hal ini dapat mengakibatkan kesalahan dalam tata
bahasa maupun pengertian. Ujaran setiap anak dibatasi oleh IJPd IJPj- nya.
Dalam hal ini itulah yang selalu merangsang fungsi daya ingatan ini dengan
mengganti dan menambah ujaran anaknya yang terlalu pendek sehingga
mengangkatnya ke taraf fungsi daya ingatan yang lebih tinggi. Namun dalam
menangkap ujaran lingkungan yang biasanya lebih panjang, anak melatih diri sendiri untuk mencari ujung
pangkal serta arti dari seluruh kalimat. Pemahaman yang tepat merupakan suatu
ganjaran positif sedangkan kesalahpahaman merupakan suatu hukuman/ ganjaran
negative.
b) Braine
(1963) mendapatkan bahwa seorang anak pada usia lebih kurang 2 tahun telah
memiliki suatu system sendiri untuk mengurutka kata – katanya segera setelah ia memasuki tahap kaliamt dua
kata. System yang digunakanya ini tidak terdapat dalam system bahasa lisan
dilingkunganya. Maka hal ini berarti anak bukan saja memakai daya ingatnya untuk meniru perkataan
orang lain melainkan pula menggunakanya untuk menyusun rencana atau program
untuk suatu seri kata – kata.
Braine
membedakan antara apa yang yang dinamakan kat – kata poros dan kata – kata
terbuka. Contoh kata poros yang digunakan anak adalah “mau”.kata ini selalu
akan ditempatakan sebagai kata pertama dalam suatu seri kata – kata.
Misalnya,”mau pipis, mau mandi” dan sebagainya.
System
ini dapat digambarkan dengan rumusan:”mau…”(mau sebagai kata poros, disusul
dengan tempat kosong untuk kata terbuka). Kata poros lainya adalah kata “lihat”
yang selalu ditempatakan sebagai kata kedua dalam suatu seri kata – kata.
Misalnya : “kaumu lihat”, “anak lihat”, “perahu lihat”, dan sebagainya.
Penggambaran
system ini adalah sebagai berikut:…liaht (tempat kosong untuk kata terbuka).
Mungkin kecenderungan untuk membuat sistematisasi ini dapat digolongkan sebagai suatu fungsi
kognitif bawaan dalam perkembangan bahasa.
Browne
dan Bellugi (1964) menyimpulkan bahwa urutan yang digunakan anak biasanya
dibiarkan dan tidak dikoreksi oleh ibu mereka.at dikatakan bahwa penglompokan
kata merupakan sistematisasi yang pertama serta paling mendasar digunakan anak.
Cara mensistematisasi ini kelak erat hubunganya dengan struktur frasa suatu
kalimat.
c) Seorang
anak mengadakan refleksi terhadap bahasa/ungkapan lisan orang lain sserta
membandingkanya dengan bahasa sendiri. Dengan demikian ia akan menemukan aturan
atau hubungan bahasa. Penemuan ini akan dicoba diterapkanya dalam percakapan
yang dapat diumpamakan sebagai permainan coba dan periksa secara terus –
menerus. Keistimewaanya adalah bahwa aturan bahasa itu ditemukan oleh anak itu
sendiri.
2.2.3 Metode Tangkap dan Peran
Ganda
Hasil seluruh
perkembangan yang telah diuraikan diatas adalah kelangsungan percakapan dan
komunikasi yang semakin baik dan makin tidak bergantung pada ibu atau orang
lain melaui metode tangkap dan peran ganda. Menurut pandangan Van Uden, seorang
ibu akan berhenti menggunakan metode tangkap dan peran ganda jika anak
menginjak usia kurang lebih 5 sampai 6 tahun. Kemudian menyusul pendidikan
formal disekolah dasar dimana si anak akan semakin menyadari kemampuan
berbahasanya melalui kemampuan membaca dan menulis. Kedua kemampuan ini akan
makin melahirkan kemampuan berbahasa anak sehingga ia akan menjadi mandiri dalam
mengadakan percakapan dan menggunakan bahasa.
2.3 IKHTISAR PERKEMBANGAN BAHASA PADA
ANAK MENDENGAR
Poses penguasaan
bahasa dapat digambarkan dalam suatu bentuk spiral yang menunjukkan
perkembangan dari bawah ke atas yang semakin meluas dan tidak terbatas, yaitu :
1. Bertolak
dari percakapan yang dibantu metode tangkap dan permainan peran ganda ibu /
orang lain.
2. Melalui
proses penguasaan secara psikis dan kognitif.
3. Menuju
kesuatu percakapan tanpa bergantung kepada orang lain.
4. Dengan
kemampuan tersebut melalui penguasaan psikokognitif yang makin mantap (antara
lain membantu peran membaca dan menulis)
5. Menuju
kesuatu percakapan yang makin lepas dari bimbingan orang lain.
Bila proses
penguasaan bahasa sebagaimana dipaparkan Van Uden dikaitkan dengan kemampuan
bahasa yang perlu dicapai seseorang, yaitu kemampuan bahasa ekspresif dan
reseptif. Proses penguasaan bahasa anak dengar. Perhatikan bahwa proses
penguasaan bahasa reseptif atau pemahaman ungkapan lingkungan melalui menyimak
dan kemampuan ekspresif lisan dikuasai anak mendengar secar informal
dirumah pada usia balita. Baru kemudia
di sekolah, secara formal akan dipelajari kemampuan bahasa reseptif melalui
kemampuan membaca dan kemampuan ekspresif tertulis.
2.4 PENERAPAN MODEL BAHASA ANAK DENGAR
UNTUK DIDAKTIK ANAK TUNARUNGU
Penerapan model
bahasa anak dengar untuk didakrtik pengajaran anak tuli meliputi tiga tahapan
sebagaimana terjadi pada nak mendengar, yaitu :
2.4.1
Perilaku
Lahiriah
a.
Nilai Instrumental Bahasa
Komunikasi
dengan anak tunarungu harus dimuali sedini mungkin (menurut Van Uden selambat –
lambatnya waktu anak berumur ± 1,6 tahun). Dalam pelaksanaanya hendaknya
menggunakan metode yang didasarkan prinsip – prinsip conditioning / pembiasaan
yang klasik dan operant serta membangkitkan dorongan meniri pada anak. Metode
ini dipandang paling sesuai karena
berpijak pada perilaku spontan anak. Seorang anak tuli, pada usia dini juga
akan mengoceh atau mengeluarka suara – suara tertentu, dan kecenderungan untuk
memperhatikan / menatap wajah pembicara perlu dipupuk, serta bila sejak dini
dipakaikan alat bantu mendengar (ABM), sikap / perhatian terhadap vokalisasi
pun dapat mulai dikembangkan.
Contoh dibawah ini
menggambarkan komunikasi yang dijalin dengan bertolak pada perilaku spontan
anak :
Setiap kali anak mengeluarkan suara yang
bagus, ibunya akan memberikan ganjaran dengan membelainya, sedangkan bila suara
yang dikeluarkanya jelek, maka ibu tidak akan memberikan suatu reaksi. Apa
pengaruh perilaku ibi terhadap anak? Dalam contoh ini prinsip apa yang
digunakan oleh ibu?
Setiap kali, sebelum anak diberi makan
bubur, si ibu membiasakan diri untuk menyapa dengan muka ramah dan berkata
“Bubur” atau “Mkan Bubur?” Apa akibatnya? Setelah beberapa kali anak member
reaksi terhadap sapaan ibunya itu, sebelum ia meliha makananya (bubur). Jelas
disisni ibu menggunakan prinsip conditioning / pembiasaan yang klasik.
Ibu dan anak memainkan “ciluk…” setiap
kali ibu menutup wajah dengan telapak tanganya dan sewaktu memperlihatkan
wajahnya mengatakan “Bu…saying”. Lama – kelamaan anak akan meniru ucapan ibu
walaupun tentu tidak secara tepat.
A Van Uden tidak menganjurkan untuk
memberi anak terlalu banyak latihan menjodohkan atau lebih dikenal denga
latihan identifikasi atau permainan etiket. Suatu metode yang dinamakanya
metode antisipasi lebih dianjurkan. Berikut ini ilistrasi untuk memperjelas
perbedaan metode antisipasi dari latihan / metode identifikasi :
Dengan metode identifikasi, seorang ibu
ingin mengajarkan nama- nama makanan yng ada di meja makan waktu sarapan pagi.
Sang ibu menunjukkan sambil menyebutkan beberapa benda di atas meja, seperti
“ini roti”, “ini sele” dan sebagainya. Kemudian kata – kata tersebut dituliskan
diatas kartu dan ditempatkan pada makanan tersebut, ibarat etiket benda – benda
itu.
Pada metode antisipasi, maka ibu itu
justru tidak akan menaruh sele kesukaan anaknya diatas meja makan. Ia menuggu
sampai anaknya dengan caranya sebdiri menyatakan keinginannya untuk makan roti
dengan sele. Ibu kemudian menanggapi ungkapan anak tadi dengan mengatakan,”Oh
kamu mau sele?” jika anak mengangguk atau mencoba menirukan kata “sele” ia akan
mengambilnya dari lemari dan mengatakan “ini sele” dan menaruhnya diatas meja.
Dari ilustrasi terakhir jelas bahwa ibu
ini menggunakan metode antisipasi, yaitu penyajian kata (dalam bentuk lisan,
tulisan dan bahkan system isyarat baku)
diberikan sebelum anak melihat atau terpenuhi keinginannya. Cara ini
lebih efektif dan menimbulkan minat anak berhubung kata atau bahasa menjadi
suatu sarana pemuasan kebutuhannya. Latihan identifikasi ada kegunaannya untuk
memantapkan kata atau bahasa yang telah diperoleh melalui metode antisipasi. Selain
itu, melalui latihan tersebut, dipertegas tentang keberadaan lambang sebagai
pengganti realita (benda, kejadian nyata).
b.
Ancaman atau bahaya dalam proses
penguasaan bahasa anak tunarungu dalam tahap awal perkembangannya (pada anak
usia 2 – 5 tahun)
Pengalaman bahasa yang kurang transparan
Pengalaman
berbahasa anak terlalu menitikberatkan pada bentuk bahasa, pola bentuk kalimat
dan kata tanpa dipahami maksudnya. Hal ini kan terjadi bila anak secara terus
menerus diberikan latihan identifikasi karena “nama” melekat pada suatu benda
atau situasi konkret tanpa merangsang minat anak, sehingga juga cepat
dilupakan. Bila anak tidak pernah menanyakan arti dari suatu kata baru, maka
ini dapat merupakan pertanda bahwa ada sesuatu yang salah dalam perkembangan
bahasanya. Perkembangan bahasa harus diikatkan secara erat dengan penghayatan
anak, dengan perasaan dan pengalaman anak, sehingga makna bahasa itu transparan
baginya.
Pengalaman bahasa yang terlalu
mengutamakan produksi bahasa anak.
Bila
pada awal perkembangan bahasa terlau diutamakan agar anak mengungkapkan diri
atau memproduksi bahasa secara baik dan benar maka titik berat akan jatuh pada
pembentukan ungkapan dan bukan memberikan suatu dasar luas untuk pemahaman
bahasa. Hal ini akan menghambat terjadinya pemahaman secara global intuitif dan
menjurus pada penyajian bahasa terpilih secar terbatas, baik mengenai kosakata,
bentuk, dan panjang kalimat, maupun situasi.
Pendidik
kadang – kadang mengumpulkan ungkapan sehari – hari yang kemudian dilatihkan
pada anak untuk digunakan dalam situasi tepat dalam berbagai kegiatan yang
sengaja diciptakan. Cara ini kurang tepat dan terlalu formal, dan dibuat –
buat. Hal yang sama bisa diajarkan melalui percakapan sejati dalam situasi yang
nyata.
Misalnya bila anak
tunarungu yang usia 6 tahun ditanyai “Kamu suka jeruk itu? Apakah enak?” lalu
anak menjawab,”Jeruk itu bulat”. Jelas anak telah dilatih pola – pola
konstruktif dan terbatas sehingga terpaku pada pola – pola tertentu. Bila anak
telah di didik melalui metode percakapan yang bebas maka kemungkinan dia akan
memberikan percakapan seperti, “Ya, saya suka, jeruk itu enak”. Dalam hal ini
anak terarah pada situasinya dan bukan pada bentuk bahasa yang telah dilatih.
c. Metode
tangkap dan peran ganda seperti yang telah dilakukan seorang ibu kepada anak
yang mendengar sejak dini harus diterapkan pula pada pendidikan anak tunarungu.
Hal
ini berarti bahwa kita tidak perlu mengajarkan terlebih dahulu kosa kata dan
baru kemudian memulai percakapan dengan anak. Namun metode tangkap mengandalkan
adanya pengalaman sehari – hari yang amat banyak jumlahnya. Lebih – lebih dalam
suasana bermain dan melakukan sesuatu bersama. Dasar bahasa bukan semata – mata
membangun perbendaharaan kata tetapi terutama menciptakan situasi yang
membangkitkan minat anak untuk berkomunikasi. Situasi inilah yang menuntut
perbendaharaan kata dan bukan sebaliknya. Sering terjadi bahwa anak yang
dididik terutama melalui penanaman lembaga yang dilatihkan, dengan permainan
etiket atau identifikasi tidak akan memahami bila diajak bicara walaupun
menggunakan kata – kata yang telah dikenal anak. Jelas bahwa terdapat jarak
antara kata – kata yang telah dipelajari dengan kemampuan komunikasinya.
Tetapi bagaimana cara
menerapkan metode tangkap dan peran ganda untuk anak tuli yang belum berbahasa
?
Berikut ini ilustrasi
dari percakapan seorang ibu dengan anak tunarungu berusia ±3 tahun yang terjadi
setelah hewan peliharaan mereka (kelinci) melahirkan.
Anak
|
Ibu
|
“Brrr” (sambil menunjuk ke kandang
kelinci)
|
|
“Tatata”(berisyarat memperagakan
tidur)
|
“Oh, kelinci tidur?”
|
“Mama” (sambil
berisyarat mengajak ibunya)
|
“Saya harus ikut?”
|
Bersama – sama mereka menuju
kekandang kelinci dimana ternyata ada seekor kelinci yang baru lahir lalu mati.
Anak
|
Ibu
|
“Brrr” (sambil menunjuk ke kandang
kelinci yang telah mati)
|
“Kelinci itu buan
tidur. Dia mati”
|
Percakapan seperti ini dapat
divisualisasikan sebagai berikut :
Kelinci itu tidur
|
Kelinci itu bukan tidur, dia mati. kasihan
|
ANAK IBU
Kalimat – kalimat
tersebut dapat dimengerti dalam situasi (membaca ideovisual). Bila perlu dapat
pula dilengkapi dengan gambar kelinci yang mati. Namun gambar tersebut
sebaiknya jangan dibuat sedemikian rupa sehingga mengungkapkan seluruh situasi,
karena pengalaman nyata adalah paling penting bukan gambar. Pola visualisasi
untuk anak kecil menggunakan balon percakapan.
Analisa voletik dan
tulisan menurut Van Uden baru dimulai pada usia ± 5 – 6 tahun, atau lebih muda
daripada itu bila anak dinilai mampu dan penyadaran anak terhadap hal tersebut
perlu dilakukan sambil bermain.
Fungsi balon percakapan
adalah agar :
v Anak
belajar menyadari hubungan antara membaca ujaran, berbahasa tulis, dan bahasa
ucap, yaitu bahwa bentuk lisan dapat diwakili dengan bentuk tulis.
v Anak
dapat memperhatikan keseluruhan kalimat sejak awak dan mengingat urutan dari
hal yang pernah di ungkapkanya.
v Anak
terhindar dari kebiasaan membaca kata, dengan segera membiasakanya membaca (dan
kemudian menulis) secara global intuitif hal yang bermakna baginya.
Beberapa
petunjuk yang perlu diperhatikan ketika bercakap dengan anak tunarungu yang
belum berbahasa adalah sebagai berikut
Usia 1 – 2 tahun
§ Ciptakan
suasana atau lingkungan bercakap dengan anak memberi perhatian pada
keterarahwajahan serta keterarahsuaraan. Wajah ibu / guru hendaknya menjadi
wajah yang “berbicara” menampakkan ekspresi dan mimic yang meyakinkan sesuai
dengan bahasa yang diungkapkan. Pupuklah suasana taktil dan kinestesi si anak
dengan merasa dan meraba gerakan mulut, getaran dileher untuk membantu
menyadarkan vibrasi waktu bicara.
§ Rangsanglah
agar anak mengeluarkan suara, meniru suara raban yang bervariasi, dengan
menggunakan alat bantu mendengar sebagai umpan balik audiotorik juga denga
cermin sebagai umpan balik visual.
§ Cepat
tanggap akan suara raban yang dikeluarkan anak dan memancingnya dengan
menggunakan gambar – gambar agar dirasakan adanya irama melalui rabaan panjang.
Misalnya :
ü Gambar
kapal terbang dengan suara “aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”
ü Gambar
mobil dengan suara “mmmmmmmmmmmmmmmm”
ü Gamabar
burung dengan suara “bubububububububububububu”
ü Gambar
ikan dengan suara “popopopopopopopopopopopopo”
Usia 2 – 3 tahun
§ Bentuk
kata – kata yang berarti, bersal dari suara raban “bobobo…lalala” menjadi “bola”
§ Sambil
bermain dengan bola, diteruskan “papapa – papa” (foto papa), “bubububu –
burung” (ditunjukkan gambar burung)
Usia 3 – 5 tahun
§ Menggunakan
prinsip conditioning yang klasik dan operant.
§ Menggunakan
balaon percakapan dalam visualisasi dan bacaan (deposit) yang membantu fungsi
ingatan.
2.4.2
Proses
Kognitif/Perantara
a.
Daya Ingat
Fungsi daya ingatan merupakan salah
satu kesulitan utama bagi anak tunarungu dalam proses penguasaan bahasa. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa untuk beberapa fungsi daya ingat anak tunarungu
ketinggalan dibandingkan dengan anak mendengar. Dalam proses penguasaan bahasa,
daya ingatan yang paling diperlukan adalah daya ingat untuk ngatan Jangka
Pendek (IJPd) maupun lajunya percakapan mengisyaratkan suatu IJPd yang lancar,
demikian pula dalam hal membaca. Percakapan yang agak lama mengenai suatu pokok
yang sama atau bacaan yang agak panjang memerlukan fungsi IJPj yang baik.
Fungsi IJPj khususnya, sangat penting untuk menemukan dan menerapkan hukum atau
urutan bahasa.
Merupakan tugas kita untuk melatih
daya ingatan anak tunarungu dalam bahasa yang telah kita pilih untuk diajarkan
apakah dalam bentuk tulisan, lisan ataupun ejaan jari. Hasil penyelidikan Van
Uden menyebutkan bahwa anak yang dididik secara oral/ritmik akan lebih mudah
mengingat kalimat yang telah diucapkan guru dengan berirama dibandingkan dengan
bila mereka membaca sendiri (dalam hati tanpa melisankannya) hal ini berlaku
bagi IJPd maupun IJPj. Bahkan menyalin kalimat ternyata masih kurang efektif
untuk daya ingatan dibandingkan dengan mengucapkannya secara lisan.
b. Secara spontan anak tunarungu akan
menunjukkan suatu sistematisasi dalam ungkapan bahasa mereka.
Bahkan
pada anak tuli yang masih kecilpun kadang-kadang sistematisasi itu mulai
tampak. Perhatikan contoh berikut:
Seorang
anak 3 tahun menggunakan kata “Ooooh” untuk menunjukkan segala yang sangat
besar, sangat bagus, sangat jauh, dan lain-lain seperti, “Ooooh bis” dengan
maksud naik bis pergi jauh, “Ooooh bola” dengan maksud bola plastik yang besar.
Sistematisasi
semacam ini agak mirip dengan yang dilakukan anak mendengar. Namun biasanya
sistematisasi yang dikembangkan anak tuli berbeda dengan yang dilakukan anak
dengar, yaitu lebih dipengaruhi sistematisasi urutan visual atau emosional. A.
Van Uden sepenapat dengan Wundt (1908) mengemukakan bahwa isyarat mengikuti
urutan tertentu yang tidak cocok dengan urutan bahasa lisan.
Misal
: Anak tuli akan berisyarat dengan urutan “lemari di dalam” sebagai pengganti “
di dalam lemari” karena isyarat “lemari” harus digambarkan terlebih dahulu
sebelum isyarat “meletakkan sesuatu di dalamnya” mempunyai arti.
Anak
kecil yang baru mulai dididik biasanya masih akan lebih dipengaruhi urutan
isyarat daripada urutan bahasa lisan. Anak besar yang sudah lama dididik dengan
metode oral akan lebih banyak menggunakan urutan bahasa lisan walaupun masih
sering dipengaruhi bahasa isyarat. Rupanya terjadi pengaruh timbal balik antara
urutan atau peraturan kedua bahas yang berbeda tersebut.
Tervoort
dan Verberk (1976) seperti dikutip van Uden, menyimpulkan pula bahwa anak
tunarungu yang dilatih dengan skema kalimat visual seperti Fitzgerald Key juga
akan mencampuradukan urutan visual dengan urutan isyarat.
Lebih
jauh lagi van Uden menekankan perbedaan hakiki yang terdapat antara pengelompokkan
isyarat dengan pengelompokan kata. Kata-kata dikelompokkan berdasarkan
satuan-satuan yang berirama atau yang bertekanan. Sistem isyarat rupanya tidak
mengenal pengelompokkan menurut tekanan atau aksen. Isyarat yang mendapat
penekanan akan ditempatkan di muka. Misalnya “Saya datang besok” (dengan
tekanan pada kata “besok”) menjadi “Besok saya datang”.
Rupanya
bukan hanya urutan visual atau kegiatan yang berperan mempengaruhi urutan
isyarat tetapi juga faktor emosional (visual/emosional order). Bila anak
sekaligus berisyarat dan berbicara maka gejala pencampuran ini makin nyata.
Umpamanya mereka jarang menggunakan kata ingkar “tidak” dan “tidak ada”
melainkan akan membuat isyarat berupa gelengan kepala sambil mengucapkan kata
tugas yang menunjukkan pengingkaran.
Misalnya
: berkata “bola” sambil menggelengkan kepalanya berarti “dia tidak melihat bola
dan tidak tahu ada di mana”.
Menurut
van Uden penerapan “aturan” urutan visual dan emosional yang muncul secara
spontan itu baru akan hilang bila merekan mulai mendasarkan urutan pada
pengelompokkan menurut irama.
c.
Metode Reflektif
Menurut
van Uden tidak dapat dibenarkan bila anak tuli diberi latihan untuk menyusun
kalimat serta bentuk bahasa lainnya berdasarkan suatu contoh yang belum
ditemukannya sendiri melalui berbagai contoh pengalaman berbahasa. Cara
mengajar bahasa seperti itu yaitu berdasarkan suatu program yang telah disusun
sebelumnya, memang tidak ditemukan dalam proses penguasaan bahasa ibu
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Cara seperti itu banyak ditemukan dalam
cara mengajar bahasa kedua atau bahasa asing (lihat bagian awal bab ini). Bila
anak tuli diajarkan dengan demikian maka akan berakibat sebagai berikut:
·
Anak akan terlalu terpaku pada sejumlah
kosa kata yang sempit baik mengenai bentuk maupun isinya.
·
Terhambatnya cara berpikir yang luwes
sehingga tidak dapat menangkap sepenuhnya berbagai makna kata maupun berbagai
kemungkinan kombinasi kata-kata.
·
Terhalangnya pelaksanaan percakapan yang
sungguh-sungguh spontan yang sekaligus menjadi penghalang untuk berkembangnya
empati (turut menghayati perasaan orang lain).
·
Kandasnya kemampuan membaca pada tahap
kosa kata (lihat uraian tentang membaca)
Metode
reflektif mencoba menggabungkan bahasa percakapan yang normal sehari-hari waktu masa kanak-kanak dengan
pengajaran aturan/hukum kelukuan gramatikal. Arti harfiah dari refleksi adalah
memantulkan kembali (memantulkan sinar yang terjadi pada reflektor). Arti kedua
adalah untuk melihat dan meninjau kembali pengalaman, kesan, bayangan, perasaan,
dan pikiran sendiri yang menimbulkan kesadaran sehingga seseorang dapat
mengontrol tingkah lakunya.
Dalam
didaktik pengajaran bahasa, refleksi berarti meninjau kembali pengalaman
bebahasa, sehingga anak bisa mengontrol penggunaan bahasa secara aktifmaupun
pasif (yang pada umumnya dilakukan di bawah sadar). Tujuan utama refleksi
adalah proses penyadaran tentang adanya hukum bahasa dan kemampuan untuk
mengontrol penggunaan bahasa. Dapatkah anak tuli dibawa untuk mengadakan
refleksi atas perolehan bahasa yang telah dimengerti secara global sehingga
menemukan serta menerapkan sendiri aturan bahasa?
Metode
Maternal Reflektif (MMR) merupakan metode yang disusun berdasarkan keyakinan
bahwa hal tersebut mungkin terjadi melalui:
1.
Pengembangan Percakapan Sejati dengan
metode tangkap dan peran ganda sehingga bentuk dan maksud bahasa mendapat
giliran tanpa dibuat-buat.
Jadi tidak hanya bentuk pernyataan seperti
yang sering terjadi di sebagian besar metode, namun juga bentuk tanya, ungkapan
perasaan, seruan dan lainnya diberikan sesuai situasi yang tepat. Segi pokok
yang harus diperhatiakan dalam ungkapan lisan anak adalah agar mereka sedapat
mungkin mengelompokkan kata-kata menurut irama. Anak dibiasakan agar berbicara
seritmis mungkin untuk melatih daya ingatan dan agar anak dapat menemukan
sendiri struktur frase atau tempat pemenggalan yang tepat serta kata yang perlu
diberi tekanan. Seperti diketahui, struktur frase mempunyai peran yang mendasar
dalam susunan kalimat.
A. van Uden membedakan antara 2 macam
percakapan, yaitu percakapan dari Hati ke Hati dan Percakapan Linguistik
(bahasa).
·
Percakapan dari Hati ke Hati (Heart to
Heart Conversation)
Pelajaran percakapan semacam ini merupakan
percakapan spontan di kelas, pada watu luang, dengan orangtua dan para pengasuh
asrama. Yang sentral ialah adanya fleksibilitas dalam isi serta pengembangan
perasaan empati. Ungkapan anak yang masih salah, secara langsung dibetulkan
melalui metode tangkap, namun keluwesan dan pertukaran pikiran sedapat mungkin
tidak diganggu.
Selanjutnya van Uden (1980) menambahkan
beberapa petunjuk bagi para pendidik dalam melangsungkan percakapan, yaitu:
§ Spontanitas;
merupakan esensi percakapan sejati. Tanpa adanya spontanitas antara partner
percakapan, mustahil terjadi komunikasi baik dalam memahami maupun
mengekspresikan diri.
§ Percakapan
merupakan suatu pertukaran pikiran, artinya harus merupakan pikiran yang bukan
dibuat-buat (real thoughts), maka bersifat kreatif, spontan, intuitif.
§ Pertukaran
pikiran mencakup pertanyaan, imbauan, permintaan, melibatkan sikap dan
perasaan.
§ Ada
pikiran yang diutarakan dengan maksud sebagai suatu pesan yang tertuju kepada
partner percakapan, namun ada juga yang tanpa maksud tetapi tetap berarti untuk
suatu percakapan.
§ Percakapan
mencakup pula bahasa tubuh (body language), yaitu aspek non-verbal yang
menyertai ungkapan lisan.
§ Arti
pertukaran (exchange) menunjukkan bahwa masing-masing partner percakapan
berupaya agar pikiran dan ungkapan mereka saling dipahami dan ini lagi-lagi
menuntut empati, yaitu suatu sikap untuk masuk ke dalam dunia pikiran dan
perasaan masing-masing (anak & pendidik).
§ Agar
para pendidikan dapat menangkap ungkapan anak yang belum sepenuhnya tepat
diperlukan sikap mau mendengarkan, peka dan penuh perhatian terhadap apa yang
ingin diungkapkan anak, apa yang dipikirkan anak, apa yang mereka ingini, apa
yang menarik perhatian mereka dan sebagainya, dan bukan bersikap menggurui.
Percakapan dari Hati ke Hati dapat
dibedakan menjadi:
·
Percakapan Bebas (Free Conversation),
terjadi bila anak datang dengan cerita istimewa atau ada kejadian yang
mengesankan semua anak. Percakapan macam ini dapat berlangsung antara 5-10
menit atau kadang-kadang sampai 1 jam. Percakapan jenis ini umumnya terjadi di
pra-sekolah dan kelas dasar rendah.
·
Percakapan Melanjutkan Informasi. Dalam
percakapan seperti ini dipercakapkan pokok-pokok yang menyangkut pengetahuan
umum. Percakapan melanjutkan informasi diperuntukkan bagi anak-anak yang sudah
duduk di kelas-kelas yang lebih tinggi
Contoh-contoh
kedua jenis Percakapan dari Hati ke Hati dapat dilihat pada bagian ketiga buku
ini.
·
Percakapan Linguistik
Dalam percakapan
semacam ini anak belajar mengadakan refleksi atas bahasanya. Bahan biasanya
berupa surat atau buku bacaan dalam bahasa (Indonesia) yang wajar. Anak maupun
guru perlu menggunakan buku catatan hasil percakapan serta pekerjaan rumah
perorangan. Sebagai tindak lanjut perlu dicatat dalam buku tersebut sehingga
dapat memberikan gambaran tentang kemampuan tata bahasa anak yang sedang
berkembang atau bertumbuh. Fungsi lain buku catatan adalah untuk lebih
memantapkan ingatan anak tentang aturan bahasa yang telah ditemukan melalui
refleksi, perkembangan kata maupun idiom yang telah dimiliki. Disamping itu,
catatan, juga merupakan petunjuk bagi guru pengganti bila anak naik atau pindah
kelas.
Selain latihan refleksi juga ada
latihan yang dinamakan latihan rekonstruksi dan latihan konstruksi.
Contoh Latihan Rekonstruksi:
·
Kalimat-kalimat dari suatu bacaan
digunting dan diacak. Anak diminta untuk menyusun kembali bacaan tersebut menurut
urutan semula.
·
Semua kata depan dari suatu bacaan di
papan tulis dihapus, lalu anak diminta mengisi kembali, dan seterusnya.
Contoh
Latihan Konstruksi
·
Pada kalender di dalam kelas yang
menunjukkan tanggal 16 Agustus, tercatat “Besok kita akan merayakan Hari
Kemerdekaan Indonesia”. Setelah hari kemerdekaan lewat, anak-anak ditanya
mengenai apa yang perlu diubah pada kalimat tersebut.
·
Penggunaan kata “karena” dan “sebab
itu”, seperti dalam kalimat “Hari ini Tono tidak masuk sekolah karena sakit” diminta
diubah dengan menggunakan kata “sebab itu”.
Walaupun
latihan konstruksi dan rekonstruksi penting, namun sebagai dasar, latihan
refleksi perlu diutamakan. Agar anak dapat belajar mengadakan refleksi atas
bahasanya, mengandaikan adanya banyak pengalaman percakapan dan juga kemampuan
membaca dari pihak anak.
2. Kegiatan
Membaca dan Menulis
Dalam
mengajar membaca bagi anak mendengar dikenal berbagai metode/pendekatan antara
lain metode Eja (phonic Approach), di mana membaca-menulis permulaan bertolak
dari unsur spesifik, yaitu memperkenalkan huruf dan bunyinya. Ada pula metode
yang dimulai dengan memperkenalkan kata/kalimat yang sudah dikenal anak,
kemudian baru dianalisa sampai unsur huruf/bunyi, dan akhirnya disintesa
kembali, seperti yang digunakan di Indonesia (metode SAS). Di sini jelas bahwa
bagi anak mendengar mulai belajar membaca berarti membaca sesuatu yang sudah
dikenalnya melalui pendengaran dan sudah digunakannya dalam percakapan
sehari-hari sebelum bersekolah. Maka membaca-menulis permulaan bagi mereka
adalah kegiatan belajar melisankan tulisan yang telah dikenal anak (Tim Penatar
St. Michielsgestel, 1990). Apakah cara mengajarkan membaca-menulis permulaan
seperti di SD dapat juga diterapkan bagi anak tuli?
Sudah
diketahui bahwa perkembangan bahasa anak tuli jauh lebih ketinggalan bila
dibandingkan anak mendengar. Dengan MMR, kemampuan berbahasa anak tuli
dikembangkan pula melalui percakapan. Pada tahap awal perilaku bahasa anak tuli
masih berada pada taraf pengungkapan diri melalui bahasa tubuh, gerak-gerak
tertentu, dramatisasi atau suara ocehan. Peran ganda pendidik berupa ungkapan
lisan ditangkapnya secara kurang lengkap melalui membaca ujaran dan pemanfaatan
sisa pendengaran.
Di sinilah peran tulisan (dan dalam
batas tertentu, ejaan jari/isyarat bila menerapkan Komunikasi Total) sangat
mendukung. (Namun tulisan masih memiliki keunggulan di atas Ejaan Jari dan
isyarat karena sifatnya menetap). Ungkapan yang belum ditangkap secara sempurna
itu atau belum dapat diucapkan anak, langsung dituliskan dalam situasi yaitu
divisualkan. Penulisan ini tentu hanya berfungsi bila anak sudah dapat membaca.
Maka di sinilah terdapat perbedaan mendasar antara anak tuli dengan anak
mendengar perihal membaca-menulis permulaan. Bagi anak tuli belajar membaca dan
perkembangan bahasa berlangsung serempak. Pelajaran membaca merupakan pendukung
yang diperlukan guna perolehan dan pengolahan bahasa dan sebaliknya.
Kegiatan
membaca visualisasi percakapan mula-mula terjadi secara global dan diketahui
maknanya karena apa yang dituliskan merupakan ungkapan atau ide mereka sendiri
(membaca ideo-visual). Dengan mengamati uraian tentang metode/pendekatan
membaca permulaan dalam bab IV bagian pertama buku ini, maka dapat disimpulkan
bahwa van Uden menerapkan pendekatan psikolinguistik atau pendekatan bahasa
secara utuh (whole language approach) dalam mengajar membaca bagi anak tuli.
Bagaimana
anak tuli mulai dari kegiatan membaca ungkapan yang merupakan ide sendiri,
secara bertahap mampu memahami bacaan dari buku yang dikarang untuk anak
mendengar, dapat diikuti pada bagian ketiga buku ini.
Secara
garis besar langkah pelajaran membaca bagi anak tuli menurut MMR adalah sebagai
berikut:
Membaca
ideo-visual; yaitu anak mengerti bacaan yang memuat hal-hal yang sudah
diketahui sebelumnya berdasarkan hasil pengalaman sendiri. Seperti dikatakan
sebelumnya apa yang belum dapat diucapkan anak langsung ditulisdalam situasi
berupa visualisasi percakapan. Kemudian dituangkan menjadi suatu bacaan dalam
bahasa yang bebas serta “disimpan”/dicatat dalam buku harian anak. Bacaan itu
oleh van Uden diberi nama deposit.
Dalam hal ini tokoh tersebut menunjuk pada de Saussure (1916) yang menamakan
bahasa sebagai “depot psichique”
(suatu depot kejiwaan). Sejalan dengan ini digunakan istilah deposit yang biasanya
diartikan sebagai suatu harta kekayaan seseorang yang disimpan di bank yang
menghasilkan “bunga”. Maka bacaan
sebagai hasil penuangan pengalaman berbahasa anak yang dipahami dan disimpan
dalam benak mereka merupakan simpanan kekayaan bahasa yang makin dapat
menghasilkan “buah” pemahaman dan
produksi bahasa lebih lanjut. Bacaan/deposit yang telah disusun oleh guru
merupakan bahan bagi anak untuk belajar membaca secara global intuitif. Sesuai
perkembangan anak bacaan ideo-visual bisa mencakup teks bacaan yang secara
bertahap memuat bahan pengalaman dimulai dari hal yang terjadi dalam waktu
dekat sampai bahan yang sudah sedikit di luar pengalaman anak namun masih
bertalian erat dengannya.
Lihat ada kelereng
|
Ø Visualisasi
Punya siapa?
|
Pak Tonny bertanya
Punya Nico
|
Nico menjawab
Kelereng itu semua ada empat
|
Kami bisa bermain kelereng
|
Rafli berkata
Ø
Tadi, kami bermain kelereng
|
Kelereng ada empat
|
Rafli
berkata
Siapa yang punya kelereng itu?
|
Punya saya
|
Pak
Tonny bertanya
Lihat! Ada kelereng yang berwarna hijau
|
Juga ada yang berwarna putih biru
|
Tino
berseru
Nano menyambung
Contoh
2 : Visualisasi dan Deposit dari Kelas Persiapan II
Ø Visualisasi
Nina berkata, “Hari jum’at kami
menabur bunga”.
Edi menyahut, “Ya, lalu berdoa”.
Pak guru bertanya, “Di mana?”
Nina menjawab, “ Di Taman Makam
Pahlawan”.
Agus berkata, “Sebelum masuk Taman
Makam Pahlawan pak Mutakim membeli bunga”.
Santi berkata, “Waktu menabur bunga
kami dipotret”.
Suli menyahut, “Pada waktu menyiram
pusaran juga”.
Agus berkata, “Suli menginjak makam
waktu menabur bunga”.
Anak-anak berseru “Tidak boleh ya!”
Ø Deposit
Taman Makam Pahlawan
“Hari Jum’at, tanggal 19 desember
kami menabur bunga” ujar anak-anak.
“ya, di Taman Makam Pahlawan” sahut
Nina.
“Di sana ada 7 makam pahlawan
revolusi,” sahut Adi.
“Saya melihat Nina berdoa sambil
menundukkan kepala,” ujar Santi.
“Ya, di Makam Pahlawan ada yang
beragama Kristen,” sahut Agus.
“Kami juga berdoa di makam yang
beragama Islam,” ujar Santi dan Edi
“Sebelum pulang kami menyiram
pusaran dulu,” kata Suli
“ Lalu dipotret ya,” sahut Agus.
Persyaratan
Menyusun Deposit
Penyusunan deposit sesungguhnya
tidak mudah walaupun tampak sederhana. Beberapa persyaratan yang perlu diingat
adalah antara lain: Jangan selalu menggunakan bentuk pernyataan seperti yang
masih sering terjadi tetapi gunakan pertanyaan, suruhan/seruan dan sesegera
mungkin masukkan percakapan kecil. Semua ini harus dijaga agar deposit tidak
disusun mengikuti urutan kronologis yang tepat.
Bandingkan kedua deposit di bawah
ini!
Contoh deposit yang disusun tanpa mengikuti urutan kronologis yang
tepat.
Banjir
“Kemarin pagi
hujan lebat!” seru Tito.
“Kampung saya
banjir. Air masuk ke dalam rumah setinggi lutut. Jadi saya tidak dapat masuk
sekolah,” Tito menjelaskan.
“Jalan Sudirman
juga banjir. Saya melihat banyak mobil mogok, motor-motor juga mogok, kata
Joko.
“Kasihan ,
mereka harus mengungsi, sampai air surut kembali,” kata pak Kirman.
“Untung di
Cipete tidak banjir!” seru Novi
Contoh deposit yang disusun mengikuti urutan kronologis yang tepat.
Banjir
“Kemarin Tito tidak masuk sekolah”
kata Joko.
“Banyak anak tidak masuk sekolah,”
tambah Tuti.
“Saya tidak masuk sekolah sebab
banjir,” Tito menjelaskan.
“Di mana-mana banjir,”kata Joko
Di Jalan Sudirman dan Mampang juga
banjir. Di Jalan Sudirman ada banyak mobil dan motor mogok. Di Mampang ada
banyak orang mengungsi. Mereka membawa barang-barang ke luar rumahnya.
Bacaan seperti ini biasanya
juga diberi gambar-gambar, setiap kalimat satu gambar. Cara seperti ini akan
mengakibatkan terjadinya kekeliruan dalam berpikir dengan bahasa serta menghambat
perkembangan membaca yang sesungguhnya.
Ø
Membaca
Reseptif; meliputi dua tahap yaitu:
·
Tahap kosa kata, yaitu anak mengerti
bacaan yang memuat hal-hal yang baru namun pada pokoknya dapat ditangkap atas
dasar menerka-nerka kata yang telah dimilikinya.
·
Tahap struktur, yaitu anak mengerti
bacaan yang memuat hal-hal yang baru bukan hanya atas dasar kosa kata yang
dimiliki melainkan juga melalui pemahaman atas struktur bahasa, misalnya
bagaimana arti kata dapat bergeser, bagaimana kata-kata dapat dikelompokkan dan
berkaitan satu dengan lainnya.
Berikut ini adalah skala penilaian
kemampuan membaca berdasarkan teks suatu bacaan. Berdasarkan skala ini para
pendidik dapat memperkirakan pada tahap mana siswanya berada. Sebagai informasi
tambahan dapat dikemukakan bahwa mulai nomor 5 pada skala penilaian ini,
merupakan taraf membaca anak mendengar berusia 8 tahun dan mulai nomor 7 taraf
kemampuan membaca anak mendengar usia 11 tahun (standar untuk negeri Belanda)
Skala
Penilaian Kemampuan Membaca
· Membaca
Ideo-Visual : pada tahap ini anak hanya mengerti teks yang mengungkapkan
sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya, jadi yang merumuskan pengalamannya. Norma-norma
1. Anak
hanya mengerti teks mengenai pengalaman yang terjadi tidak lebih dari dua bulan
lampau.
2. Anak
dapat dengan lancar mengerti bacaan dari buku harian atau buku asosiasinya,
yang dibicarakan tiga bulan lalu atau lebih.
3. Anak
mengerti teks baru (misalnya.surat dari orangtua, bacaan dari buku bacaan
asosiasi anak lain, dsb), yang sedikit banyak sudah berada di luar
pengalamannya sendiri, namun masih mempunyai kaitan erat dengan pengalaman anak
(pengalaman analog).
· Membaca
Reseptif dalam Tahap Kosa Kata, merupakan tahap membaca di mana anak memperoleh
pengertian tentang hal-hal baru, tetapi pemahamannya terutama dengan sedikit
mengira-ngira sambil memanfaatkan kosa kata yang sudah dikenalkannya.
4. Teks
masih menyangkut situasi yang cukup dikenal anak atau yang mudah dapat
ditunjukkan melalui gambar, kendati pengalaman yang diberikan masih baru bagi
anak. Misalnya tentang suatu keluarga, tentang warung nasi, tentang olah-raga,
tentang teman-teman, tentang berjalan-jalan, dan bepergian ke suatu tempat yang
cukup dikenal anak.
5. Teks
mengenai situasi yang meminta kemampuan berkhayal dan berangan-angan. Umpamanya
dongeng, cerita dari sejarah yang berlangsung di alam kebudayaan lain,
petualangan dan sebagainya.
6. Teks
berisikan hal seperti yang terdapat pada nomor 4 dan 5 di atas, namun anak
dapat mengartikan sendiri (mungkin dengan sedikit bantuan) kata-kata penunjuk
atau kata-kata tanya. Anak dapat juga menyusun kembali sebuah teks yang tidak
disusun secara tepat menurut urutan logis atau kronologis, asal hal itu tidak
terlalu rumit. Akhirnya anak mampu memahami teks suatu percakapan, di mana
tidak begitu jelas siapa mengucapkan masing-masing bagiannya.
· Membaca
Reseptif dalam tahap Struktur; pada tahap ini, anak mengerti teks yang
berisikan hal-hal baru bukan hanya melalui kosa kata yang sudah dikuasainya,
namun juga melalui struktur bahasa. Misalnya, bagaimana arti kata dapat
bergeser, bagaimana kata-kata dikelompokkan menjadi satu kesatuan bagaimana
kata-kata tergabung dengan tafsiran dan inklinasi (perubahan bentuk seperti aku
– ku, engkau – kau), apa arti struktur tata bahasa, dan lain-lain.
7. Teks
memerlukan kemampuan anak untuk memahami humor bahasa, arti kiasan, alegori,
dan lain-lain. Anak mampu menangkap keseluruhan kalimat panjang dengan beberapa
anak kalimat dan dengan “susunan pengapit”. Seperti, “ia kemarin sengaja
terburu-buru menyelesaikan seluruh pekerjaannya,” dan sebagainya.
8. Anak
cukup mampu membuat rangkuman buku atau karangan lain yang agak panjang, dengan
isi dan struktur seperti yang disebutkan pada nomor 5-6-7.
9. Anak
sebagian besar secara mandiri memahami teks-teks yang bersifat sastrea.
2.4.3
Pertumbuhan Terus Menerus
Penguasaan
bahasa anak tuli dapat juga digambarkan menurut bentuk spiral dari bawah ke
atas yaitu bertolak dari percakapan mengikuti metode tangkap dan peran ganda
yang menghasilkan bacaan sebagai bahan untuk melatih anak mengadakan refleksi.
Hal ini akan meningkatkan mutu percakapan yang selanjutnya akan mengakibatkan
terjalinnya kontak yang makin baik. Dengan semakin maju refleksi anak,
terbentuklah dasar untuk menyusun karangan dan penggunaan bahasa menurut
aturan. Dengan demikian anak semakin dapat berdiri sendiri dalam melangsungkan
percakapan, dapat memahami bacaan, dan semakin menguasai ungkapan bahasa dan
seterusnya.
Untuk
selanjutnya lihat bagan Proses penguasaan Bahasa Anak Tunarungu. Perhatikan
bahwa pada awal proses penguasaan bahasa, berbeda dengan anak mendengar tidak
hanya berlangsung di rumah melainkan di sekolah bersama guru dan teman sekelas.
Kemampuan/ Perilaku, antara lain:
|
Proses Perantara, antara lain:
|
Kemampuan
|
Bahasa
Tubuh
|
Mengoceh/
Menangis
|
Mendengar
|
Keterarahan-wajahan
|
1.
Dorongan
Meniru
2.
Condiitioning
3.
Sikap
Tanggap Peran Ganda Ibu
4.
Daya
Ingatan
5.
Daya
Sistematisasi
6.
Daya Refleksi/
Induksi
|
Bahasa Reseptif (Mengerti
bicara lingkungan)
Bahasa Ekspresif (Bicara)
|
Bahasa Reseptif (Membaca)
Bahasa Ekspresif (Menulis)
|
10.
Formal di sekolah
|
Pengalaman bersama
ibu (orang lain) dalam interaksi manusiawi secara informal di rumah. Anak
memperoleh masukan informasi kebahasaan (mandi bahasa) dan terjadi interaksi/partisipasi
aktif anak dan orangtua
|
Kemampuan/ Perilaku, antara lain:
|
Kemampuan
|
Proses Perantara, antara lain:
|
Bahasa
Tubuh
|
Mengoceh/ Menangis
|
‘Mendengar’
|
Keterarahan-wajahan
|
1.
Dorongan
Meniru
2.
Conditioning
3.
Sikap
Tanggap Peran Ganda Ibu
4.
Daya Ingatan
5.
Daya
Sistematisasi
6.
Daya
Refleksi/ Induksi
|
Bahasa Reseptif (Mengerti
bicara lingkungan melalui membaca ujaran/ ideovisual/isyarat/sisa
pendengaran)
Bahasa Ekspresif (Bicara)
|
Bahasa Reseptif (Membaca)
Bahasa Ekspresif (Menulis)
|
Formal
|
Pendekatan informal
|
BAB
III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Penguasaan
bahasa anak tuli dapat juga digambarkan menurut bentuk spiral dari bawah ke
atas yaitu bertolak dari percakapan mengikuti metode tangkap dan peran ganda
yang menghasilkan bacaan sebagai bahan untuk melatih anak mengadakan refleksi.
Hal ini akan meningkatkan mutu percakapan yang selanjutnya akan mengakibatkan
terjalinnya kontak yang makin baik. Dengan semakin maju refleksi anak,
terbentuklah dasar untuk menyusun karangan dan penggunaan bahasa menurut
aturan.
Dengan
demikian anak semakin dapat berdiri sendiri dalam melangsungkan percakapan,
dapat memahami bacaan, dan semakin menguasai ungkapan bahasa dan seterusnya.
Untuk
selanjutnya lihat bagan Proses penguasaan Bahasa Anak Tunarungu. Perhatikan
bahwa pada awal proses penguasaan bahasa, berbeda dengan anak mendengar tidak
hanya berlangsung di rumah melainkan di sekolah bersama guru dan teman sekelas.
DAFTAR
PUSTAKA
Bintoro, Totok dan
Tonny Santosa (2000), Penguasaan Bahasa
Anak Tunarungu, Jakarta : Yayasan Santi Rama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar